Thursday, October 7, 2010

Berburu Peluang Usaha Bisnis Pada Industri Kreatif Di China

Hampir sepanjang September lalu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu sibuk bolak-balik ke sejumlah kota di China, Rusia, dan beberapa negara pecahan Uni Soviet serta sejumlah negara berkembang, terutama negara-negara di Afrika. Untuk merebut perhatian internasional bagi Indonesia, ia juga menghadiri sejumlah pertemuan perdagangan dunia.

Kita tidak boleh melewatkan peluang perdagangan pascakrisis finansial AS (Amerika Serikat) September 2008 lalu, terutama dengan Tiongkok,” tuturnya saat ditemui di Paviliun Indonesia di China, Shanghai World Expo, beberapa waktu lalu.

Agar mobilitasnya mudah, Mari dan sejumlah anggota Kabinet Indonesia Bersatu menjadikan Paviliun Indonesia di World Expo 2010, Shanghai, China, sebagai markasnya memburu peluang itu. ”Kita harus kerja cepat memanfaatkan seluruh peluang dan momentum ini untuk meningkatkan nilai ekspor kita,” kata Mari yang juga menjadi Ketua Pelaksana World Expo 2010.

Masih defisit

Menurut Mari, saat ini Tiongkok adalah mitra dagang Indonesia yang kelima dan, meski kondisi neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok masih defisit, tetapi secara kualitatif lebih ”sehat” dibandingkan dengan perdagangan dengan negara lain yang juga mengalami defisit. Sebab, defisit neraca perdagangan Indonesia terhadap Tiongkok terjadi karena Indonesia lebih banyak mengimpor barang modal dan bukan barang-barang konsumsi.

Barang yang diimpor dari Tiongkok, antara lain, adalah mesin-mesin yang pada semester pertama (Januari-Juni) nilainya telah mencapai 2,285 miliar dollar AS atau seperempat dari total impor dengan Tiongkok. ”Neraca perdagangan kita memang masih defisit dengan Tiongkok, tetapi sisi ekspor kita terus meningkat terhadap Tiongkok,” ucap Mari.

Tahun ini, defisit neraca perdagangan Indonesia-Tiongkok pada triwulan pertama turun 25 persen menjadi satu miliar dollar AS atau, defisit 2,946 miliar dollar AS. Hal ini disebabkan karena meningkatnya nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok. Catatan kementerian perdagangan menunjukkan, pada tiga bulan pertama itu, nilai ekspor naik 113 persen menjadi 3,1 miliar dollar AS, sedangkan impor naik 50 persen menjadi 4,1 miliar dollar AS.

”Ekspor Indonesia naik karena terjadi penguatan di sektor pertanian dan industri. Sektor pertanian antara lain kopi, karet dan kelapa sawit,” tutur Mari.

Dibandingkan dengan tahun lalu, total ekspor Indonesia pada awal tahun ini naik, 47, 68 persen. Total neraca perdagangan Indonesia pun surplus sampai Mei lalu, yaitu sebesar 8,4 miliar dollar AS. Selain dengan Tiongkok, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit dengan Thailand, Singapura, dan Australia.

Defisit terhadap Tiongkok terjadi karena impor produk tekstil dan elektronik, sedangkan defisit dengan Thailand karena impor buah dan produk pertanian. Defisit terhadap Australia terjadi karena impor daging sapi, garam, dan hasil tambang. Dengan Amerika Serikat, Korea Selatan, Inggris, Jerman dan Perancis, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus.

Memanfaatkan yuan

Mari mengatakan telah mengingatkan para pengusaha Indonesia guna memanfaatkan menguatnya mata uang Tiongkok, renmimbi atau yuan, untuk kepentingan ekspansi. ”Menguatnya nilai yuan akan menguntungkan produk kita sehingga lebih kompetitif. Situasi ini harus segera dimanfaatkan para pengusaha kita untuk melakukan ekspansi,” papar Mari.

Oleh karena itu, lanjutnya, Kementerian Perdagangan melakukan sejumlah pendampingan dan memfasilitasi hubungan antara kamar dagang Indonesia (Kadin) dan kamar dagang Tiongkok. ”Melalui Kadin, Kementerian Perdagangan juga akan menata kembali relasi bisnis dengan para pengusaha Indonesia yang menanamkan modalnya di Tiongkok agar menguntungkan perdagangan kita,” ungkap Mari.

Awal tahun 2000-an, belasan perusahaan nasional, seperti ditulis Majalah Swa edisi 17 Februari-2 Maret 2005), memindahkan kegiatannya dari Indonesia ke Tiongkok. Mereka memindahkan usaha mereka karena alasan tenaga kerja yang lebih produktif selain juga murah, birokrasi yang lebih mudah, fasilitas dan keringanan usaha yang lebih banyak dari Pemerintah Tiongkok.

”Kepindahan mereka bukan soal nasionalisme, tetapi melulu soal efisiensi. Lewat pengalaman mereka, pemerintah terutama melalui kementerian perdagangan akan memperbaiki kinerja untuk melayani mereka lebih efisien,” ujar Mari.

Produk kreatif

Mari mengakui, ada sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia untuk meningkatkan investasi dan perdagangannya. Tantangan tersebut berupa stabilitas politik, birokrasi, komputerisasi, sumber daya manusia, dan kondisi infrastruktur. Ia mengakui, di Tiongkok, ke lima tantangan tersebut sudah menjadi peluang menggerakkan turbin ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut.

Mari mengatakan, untuk bersaing dengan produk Tiongkok merebut pasar, Indonesia tak bisa lagi mengandalkan produk-produk massal, tetapi murah, seperti diproduksi Tiongkok. ”Kita harus mencari nilai tambah dengan produk kreatif lewat desain dan keterampilan kerajinan tangan,” tutur Mari. Produk-produk yang menyertakan unsur tersebut antara lain busana dan perangkat interior, termasuk mebel.

Menurut Mari, bukan hal sulit merealisasikan hal ini dengan dukungan para pengusaha Indonesia—baik yang menanamkan modalnya di Tiongkok maupun di Indonesia. ”Kerja sama di antara mereka bisa menjadi sinergi menembus pasar Tiongkok, pasar Rusia, dan negara-negara eks Uni Soviet, serta negara-negara Afrika,” ungkapnya.

Mari menargetkan, lima tahun ke depan Indonesia mampu mengubah neraca perdagangan menjadi surplus terhadap Rusia dan meningkatkan surplus neraca perdagangan terhadap negara-negara Afrika dan negara-negara pecahan Uni Soviet. ”Saya optimistis, neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok akan seimbang dalam lima tahun mendatang bila seluruh instrumen pemerintah—didukung birokrasi dan pengusaha ’bolak-balik’ (maksudnya para pengusaha Indonesia yang menanamkan modalnya di Tiongkok dan di Indonesia)—bisa saling bersinergi mengembangkan industri kreatif, pelayanan publik, dan tanggap akan informasi yang berkembang,” tutur Mari.

Segera realisasikan

Mari kembali mengingatkan, kalangan pengusaha Indonesia harus segera merealisasi rencana-rencananya melakukan ekspansi dan kerja sama dengan para pengusaha dan Pemerintah Tiongkok sebelum dampak positif krisis finansial di AS September 2008 bagi Indonesia melemah.

Tahun 2009, setelah terjadi krisis finansial di AS, hanya Tiongkok yang bisa mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi hampir 8 persen. Pertumbuhan ekonomi Jerman dan Prancis hanya 0,3 persen, sementara tingkat pertumbuhan ekonomi di AS sampai tahun ini diperkirakan cuma 2,4 persen.

Majalah Time (10/8/2009) dan Tempo (27/9/2009) menyebutkan, sejak AS dilanda krisis yang memicu resesi global, China ikut menderita. Sebab, ekspor manufaktur China masih sangat tergantung AS. Produk domestik bruto China cuma 9 persen. Angka terendah dalam tujuh tahun terakhir.

Menghadapi hal ini, China pada November tahun lalu meluncurkan paket stimulus senilai 4 triliun yuan (Rp 5.850 triliun). Dana tersebut tidak digunakan untuk meningkatkan konsumsi langsung rakyat Tiongkok, tetapi untuk kegiatan pembangunan, terutama pembangunan infrastruktur.

Jika tahun 2008 Tiongkok hanya mengucurkan dana pembangunan jaringan kereta sebanyak 41 miliar dollar AS, maka tahun lalu dana tersebut menjadi 88 miliar dollar AS. Proyek-proyek baru ini membuka lapangan kerja bagi kalangan buruh migran yang terkena pemutusan hubungan kerja karena melemahnya ekspor China. Dana stimulus juga disalurkan lewat kredit bank untuk sektor industri berat, seperti pabrik besi dan baja.

No comments:

Post a Comment