Thursday, October 28, 2010

Usaha Jeruk Karo Di Ambang Kebangkrutan

Wasit Ginting tengah mencatat jumlah jeruk yang hendak diangkut hari itu. Ia duduk sambil memencet-mencet kalkulator ditemani beberapa rekannya di dalam pondok tempat usahanya. Ia tampak tidak bersemangat ketika bercerita soal jeruk karo.

Dulu, tahun 2004 sampai 2005 saat jeruk karo berjaya, saya bisa mengangkut jeruk sebanyak empat sampai lima truk ke luar kota. Sekarang hanya dua truk,” kata Wasit, pemilik UD Sona GS, yang berdagang jeruk dan juga melayani jasa pengiriman jeruk ke sejumlah tempat.

Cerita Wasit, warga Desa Begading, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, ini menjadi cerita sedih warga Kabupaten Karo—sentra jeruk di Sumatera—pada umumnya.

Kalau saja ada yang masih bertahan, mereka hanya mendiamkan jeruk itu karena biaya perawatan sangat mahal.

”Sangat mahal Bang. Beberapa tahun lalu saya hanya mengeluarkan Rp 10 juta untuk perawatan 200 tanaman jeruk saya selama setahun, sekarang sekitar Rp 20 juta setahun,” kata Jhon Ginting, petani muda, menceritakan kebutuhan biaya perawatan tanaman jeruk.

Biaya perawatan tanaman jeruk menjadi mahal karena tanaman jeruk rentan berbagai penyakit.

Kepala Seksi Hortikultura Dinas Pertanian Sumut Unedo Koko Nababan mengatakan penurunan produksi terjadi akibat semakin banyaknya hama dan penyakit yang menyerang jeruk, semisal ulat penggerek batang dan virus CPVD.

Tidak mengherankan apabila petani meninggalkan tanaman jeruk karena biaya perawatan itu. Akibatnya, areal panen jeruk terus merosot.

Tidak sedikit petani mulai menanam tanaman lain semisal kopi. Di sejumlah kebun, petani membuat ”tumpang sari” kopi dengan jeruk. Cara ini secara agronomis tidak dibenarkan karena malah tidak menguntungkan.

”Kata tetangga, perawatan tanaman kopi lebih mudah,” tutur Jhon Ginting. Ia menunjukkan tanaman jeruk yang dibiarkan mengering, sementara di bawahnya terdapat tanaman kopi.

Serbuan jeruk dari China

Tingginya harga perawatan itu menjadikan biaya produksi jeruk juga tinggi. Untuk saat ini, biaya pokok produksi sekitar Rp 2.000 per kilogram. Sekitar 30 persen dari biaya itu digunakan untuk membeli pupuk. Angka ini diperkirakan jauh di bawah biaya produksi jeruk asal China yang masuk ke Sumatera Utara. Di tengah situasi seperti ini, sudah pasti pedagang melirik jeruk asal China.

Akibatnya, impor jeruk asal China deras masuk ke Sumut. Data impor jeruk ke Sumut mendukung dugaan itu. Data Dinas Pertanian Sumut menunjukkan impor jeruk dari China melonjak dari sekitar 200.000 ton pada tahun 2007 menjadi 1,5 juta ton pada tahun 2009.

Dampak berikutnya, harga jeruk asal Karo makin tertekan. Bahkan, Kepala Subbagian Program Dinas Pertanian Sumut Lusyantini mengatakan, harga jeruk siam pernah anjlok hingga Rp 300 per kilogram di tahun 2008. Kejadian ini membuat petani kelabakan.

Kalau pada awal September petani tengah menikmati harga yang bagus, yaitu Rp 5.000 hingga Rp 6.000 per kilogram, hal itu lebih disebabkan tanaman di China sedang terkena. Banjir dan longsor di China bagian selatan menjadikan usaha pertanian terganggu.

Masalah lain adalah rantai perdagangannya pun panjang. Nomi mengatakan, sejak awal, petani harus memberikan uang tunjuk kepada orang yang menunjukkan lahan jeruknya pada pedagang. Setelah dipanen, jeruk harus melewati pedagang pengumpul, pedagang perantara, hingga ke kios buah. Jeruk Karo sepertinya tengah menghadapi senja kala apabila sejumlah masalah tidak diatasi.

No comments:

Post a Comment