Thursday, July 3, 2014

Terkena Tsunami Hutang ... BUMI Jual Saham ke Perusahaan Cina

Perusahaan tambang milik Grup Bakrie, PT Bumi Resources Tbk (BUMI), mengalihkan 19 persen saham senilai US$ 950 juta di PT Kaltim Prima Coal (KPC) kepada China Investment Corporation (CIC). Pelepasan itu dilakukan sebagai bagian dari perjanjian penyelesaian utang yang sudah diumumkan 9 Oktober 2013.

Sekretaris Perusahaan BUMI Dileep Srivastava mengatakan BUMI memiliki utang kepada CIC sebesar US$ 1.989 juta atau Rp 23,77 triliun. Utang tersebut terdiri atas pokok utang, bunga yang ditangguhkan, dan penalti atas pelunasan yang dipercepat. "Setelah pengalihan ini, utang kami tersisa US$ 1.039," kata Dileep dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Kamis, 3 Juli 2014.

Selain pengalihan saham, Dileep mengatakan sebanyak 42 persen saham PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) senilai US$ 257 juta juga akan dialihkan kepada CIC pada September 2014. Jika rencana tersebut berhasil, maka utang BUMI akan tersisa US$ 630 juta dengan suku bunga + 6,7 persen per tahun.

Setelah pengalihan saham ini, Dileep mengatakan perusahaannya tidak memiliki kewajiban pembayaran atau pokok utang dalam setahun ke depan. Utang pokok wajib dibayar per enam bulan selama dua tahun ke depan, sedangkan bunga dibayar per bulan dimulai dari bulan ketiga belas dan seterusnya

Direktur Utama BUMI Ari Hudaya mengatakan pengalihan saham ini merupakan langkah awal memperbaiki struktur keuangan serta komitmen terhadap CIC. Menurut Ari, dengan langkah ini BUMI akan kembali menghasilkan keuntungan seperti sedia kala. Secara fundamental, kata dia, kekuatan BUMI cukup baik. "Apalagi ada peningkatan kapasitas batubara lebih dari 90 juta ton per tahun," ujarnya.

Gosip panas itu menyebar cepat melalui pesan pendek telepon seluler di kalangan pelaku pasar modal sejak dua pekan lalu. Dalam pesan itu tertera daftar utang sepuluh perusahaan Grup Bakrie yang jatuh tempo tahun ini. Jumlahnya fantastis dan membuat mata mendelik membuatnya disebut "Tsunami Utang Bakrie".

Tak dinyana, awal pekan lalu, Bursa Efek Indonesia melakukan penghentian sementara alias suspensi perdagangan saham dan obligasi BTEL, kode untuk Bakrie Telecom. Penyebabnya, perusahaan operator telepon seluler Esia yang berbasis CDMA itu gagal melunasi utang obligasi BTEL I 2007 yang jatuh tempo.

"Penghentian sementara akan dilakukan mulai awal perdagangan efek pada Selasa ini hingga penjelasan lebih lanjut," kata Kepala Divisi Penilaian Perusahaan Surat Utang Bursa Efek Indonesia Saptono Adi Junarso, Selasa pekan lalu. Utang yang jatuh tempo itu Rp 650 miliar, sedangkan Bakrie Telecom hanya memiliki dana Rp 250 miliar. Esok harinya, suspensi dicabut setelah perusahaan membayar utang pokok berikut bunganya.

Pekan sebelumnya, lantai bursa juga berguncang keras setelah Bumi ­Resources Tbk, perusahaan batu bara andalan Grup Bakrie, mengumumkan rugi US$ 322 juta pada semester pertama 2012. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, mereka masih menangguk untung US$ 232 juta. Pengumuman itu membuat nilai saham Bumi rontok hingga Rp 630 per lembar. Bumi mengaku rugi akibat transaksi derivatif US$ 145,83 juta karena kejatuhan harga saham dan kemerosotan nilai opsi prepayment pinjamannya ke China Investment Corp (CIC) sebesar US$ 1,3 miliar.

Gagal bayar BTEL dan kerugian Bumi bak membuka kotak pandora. Gelombang tsunami utang yang jatuh tempo terbukti mengintai perusahaan-perusahaan Grup Bakrie. Kendati jumlahnya tak seperti disebut dalam pesan pendek yang beredar di kalangan pelaku bursa, tetap saja nilainya membuat lutut gemetar.

Total utang sepuluh perusahaan yang jatuh tempo pada 2012 mencapai Rp 9,67 triliun. Mereka adalah PT Bakrie & Brothers Tbk, Bumi ­Resources Tbk, Bumi ­Resources Minerals, Bakrieland Development, Energi Mega Persada, Bakrie Sumatera Plantations, Bakrie Telecom, Berau Coal, Visi Media, serta Darma Henwa. Bumi ­Resources Tbk, contohnya, mesti membayar utang sekitar Rp 573 miliar. Tahun depan, perusahaan-perusahaan itu masih harus melunasi tagihan belasan triliun.

Seorang sumber  menyebutkan belitan utang terjadi akibat Bumi merugi serta buah dari praktek gadai saham yang ditengarai menjadi modus pencarian dana Grup Bakrie. Bumi, yang paling "berdaging" dibandingkan dengan perusahaan lainnya, kini kosong kantongnya. "Likuiditas perusahaan Bakrie sudah akut," ucapnya.

Padahal likuiditas menjadi kunci menghadapi utang yang jatuh tempo akibat gadai saham. "Ini soal momen. Kalau jatuh tempo tak ada uang, ya, semua perusahaan kena." Menurut dia, Grup Bakrie mencari dana dari berbagai lembaga keuangan dengan cara gadai saham meski dibe­bani bunga tinggi. Cara ini ditempuh karena tak ada akses ke perbankan. "Gadai saham bisa bikin Grup Bakrie kehilangan Bumi," katanya.

Direktur sekaligus Sekretaris Perusahaan Bumi, Dileep Srivastava, menolak perusahaannya disebut berada di ambang kebangkrutan. "Bagaimana bisa bangkrut jika dalam setiap kuartal kinerjanya meningkat?" ujarnya  akhir Agustus lalu.

Dileep juga mengklaim pemasukan perusahaan meningkat 9-10 persen dibanding tahun lalu. Dia menjelaskan pula, "Kami masih memiliki aset cadangan sekitar tiga miliar ton batu bara dan nonbatu bara." Namun profesional berkewarganegaraan India ini mengiyakan soal adanya kemungkinan penjualan aset untuk membayar utang. "Jika harganya tepat," katanya.

Dunia pasar modal Jakarta mendadak heboh pada akhir Agustus 2012. Sebabnya, sebuah pesan pendek telepon seluler mengabarkan bila grup Bakrie terlilit utang. Awalnya, berita itu bagai sebuah gosip.  Nyatanya, sepekan kemudian, rumor itu seketika menjadi kenyataan. Bursa Efek Indonesia melakukan penghentian sementara alias suspensi perdagangan saham dan obligasi BTEL, kode untuk Bakrie Telecom.

Penyebabnya, perusahaan operator telepon seluler Esia yang berbasis CDMA itu gagal melunasi utang obligasi BTEL I 2007 yang jatuh tempo. Tapi apa sebab Grup Bakrie berutang? Belitan utang terjadi akibat Bumi merugi serta buah dari praktek gadai saham yang ditengarai menjadi modus pencarian dana Grup Bakrie.

Bumi, yang paling “berdaging” dibandingkan dengan perusahaan lainnya, kini kosong kantongnya. “Likuiditas perusahaan Bakrie sudah akut,” kata si sumber tentang Tsunami Utang Bakrie.  Likuiditas ini sendiri merupakan kunci Bakrie menghadapi utang yang jatuh tempo akibat gadai saham. Dan kata si sumber, semuanya adalah soal momen. Bila pada saat jatuh tempo Bakrie tak punya uang, semua perusahaan bakal kena imbasnya.

Karena itu Bakrie mencari dana dari pelbagai lembaga keuangan dengan cara gadai saham meski dibebani bunga tinggi. Cara ini ditempuh karena tak ada akses ke perbankan. “Gadai saham bisa bikin Grup Bakrie kehilangan Bumi,” katanya. Direktur sekaligus Sekretaris Perusahaan Bumi, Dileep Srivastava, menolak perusahaannya disebut berada di ambang kebangkrutan. "Bagaimana bisa bangkrut jika dalam setiap kuartal kinerjanya meningkat?" kata Dileep.

Utang Bakrie yang jatuh tempo itu memang tak segelintir. Sekitar Rp 650 miliar, sedangkan Bakrie Telecom hanya memiliki dana Rp 250 miliar. Tak cuma itu. Sepekan sebelum suspensi, Bumi Resources Tbk mengumumkan rugi US$ 322 juta pada semester pertama 2012. Kata Bumi, mereka merugi akibat transaksi derivatif US$ 145,83 juta karena kejatuhan harga saham dan kemerosotan nilai opsi prepayment pinjamannya ke China Investment Corp (CIC) sebesar US$ 1,3 miliar.

Kerugian kemudian membengkak setelah nilai tukar rupiah melemah. Bumi tekor US$ 50,28 juta. Kepercayaan terhadap kinerja Bumi bertambah anjlok lantaran kegagalan mencairkan investasinya di PT Recapital Asset Management sebesar US$ 231 juta. Rencananya, duit itu akan dipakai buat membayar utang tahap kedua sebesar US$ 600 juta ke CIC pada Oktober mendatang. Rentetan kejadian itu sontak direspons dengan rontoknya nilai saham Bumi hingga Rp 630 per lembar

Total utang sepuluh perusahaan yang jatuh tempo pada 2012 mencapai Rp 9,67 triliun. Mereka adalah PT Bakrie & Brothers Tbk, Bumi, Bakrieland Development, Energi Mega Persada, Bakrie Sumatera Plantations, Bakrie Telecom, Berau Coal, Visi Media, serta Darma Henwa. Bumi, contohnya, mesti membayar utang sekitar Rp 573 miliar. Tahun depan, perusahaan-perusahaan itu masih harus melunasi tagihan belasan triliun.

No comments:

Post a Comment