Thursday, November 6, 2014

Inflasi Bulan Oktober 0,47 Persen dan Tahun Depan Diprediksi Akan Capai 9 Persen

Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin mengatakan inflasi pada Oktober 2014 tercatat mengalami peningkatan. "Inflasi pada Oktober 0,47," kata dia di gedung BPS, Jakarta, Senin, 3 November 2014.

Menurut Suryamin, secara tahunan inflasi tercatat sebesar 4,19 persen. Tingkat inflasi tahun ke tahun sebesar 4,83 persen. Untuk komponen inti, pada Oktober 2014 terjadi inflasi sebesar 0,27 persen.

Berdasarkan Indeks Harga Konsumen sepanjang Oktober, inflasi terjadi di 74 kota, sedangkan deflasi terjadi di delapan kota. Inflasi tertinggi terjadi di Kota Tual sebesar 2,18 persen dan inflasi terendah sebesar 0,06 persen. Untuk deflasi tertinggi terjadi di Kota Sorong sebesar 1,08 persen.

Suryamin menjelaskan beberapa komoditas yang mengalami inflasi terjadi pada perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar sebesar 1,04 persen. Komponen lain penyebab inflasi adalah sektor kesehatan sebesar 0,6 persen. Selain itu, komponen makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau menyumbang sebesar 0,43 persen. "Ini merupakan dampak kenaikan harga rokok, tarif elpiji, dan listrik," dia menjelaskan.

Center of Reform on Economics (Core) Indonesia memperkirakan inflasi Indonesia pada 2015 8-9 persen. "Hal itu didasarkan pengetatan moneter yang kemungkinan besar akan dilakukan oleh Federal Reserve tahun depan dan kemungkinan kenaikan harga BBM akhir tahun ini, kenaikan harga elpiji dan tarif dasar listrik," kata Direktur Eksekutif Core Indonesia Hendri Saparini dalam acara Economic Outlook Indonesia 2015 and Beyond: Reinventing Economic Priorities di Jakarta, Kamis, 6 November 2014.

Dengan tingkat inflasi setinggi itu, Hendri memperkirakan Bank Indonesia akan menyesuaikan suku bunga acuan (BI Rate) hingga mencapai angka tertinggi di posisi 9 persen. Saat ini, BI Rate masih berada di level 7,5 persen.

Hendri menyatakan saat ini The Fed memang telah mulai mengurangi paket stimulus, tapi pengetatan moneter belum benar-benar dilakukan. "Jadi, belum dapat diketahui kapan suku bunga AS akan dinaikkan," katanya.

Atas kondisi ini, pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla diminta segera menyiapkan respons kebijakan untuk mengantisipasi dengan lebih baik. "Jika Jokowi-JK serta Kabinet Kerja-nya dapat memanfaatkan membaiknya lingkungan eksternal untuk memaksimalkan ekonomi domestik, maka ekonomi Indonesia berpotensi tumbuh 5,3-5,6 persen," kata Hendri.

Ihwal pertumbuhan ekonomi, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Juda Agung menyatakan ada tiga hal yang harus sangat diperhatikan oleh pemerintah Jokowi-Kalla. Yakni, mengurangi subsidi BBM, mengurangi ketergantungan komoditas mentah pada struktur ekspor, dan meningkatkan daya saing. Kalau ketiga hal itu bisa ditangani dalam waktu dekat, Juda optimistis pertumbuhan ekonomi 7 persen dapat dicapai dalam jangka menengah. "Kalau tidak, maka pertumbuhan ekonomi kemungkinan di kisaran 6-6,5 persen," ujarnya.

Rencana Presiden Joko Widodo untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dikhawatirkan akan mengungkit laju inflasi. Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Juda Agung mengatakan setiap kenaikan harga BBM Rp 1.000 per liter menyumbang kenaikan inflasi 1,29 persen.

Menurut Juda, angka kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.000 per liter akan berkontribusi terhadap laju inflasi sebesar 2,58 persen. "Maka bila kenaikan harga Rp 3.000 per liter, dampaknya terhadap inflasi mencapai 3,86 persen," kata dia dalam Economic Outlook yang digelar oleh CORE Indonesia di Hotel JS Luwansa, Kamis, 6 November 2014.

Juda menyebut sumbangan harga BBM terhadap inflasi terdiri dari tiga komponen. Ketiganya adalah kenaikan harga BBM itu sendiri, dampak tak langsung terhadap kenaikan tarif angkutan, dan efeknya pada kenaikan harga barang lain.

Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin menyatakan bahwa kenaikan harga BBM belum tentu berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. "Kalau BBM naik tentu berdampak pada inflasi dan semakin menurunnya daya beli masyarakat. Namun, itu bukan berarti berlaku pada pertumbuhan ekonomi," ujarnya.

Menurut Suryamin, dampak inflasi dan pertumbuhan ekonomi akibat adanya kenaikan harga BBM bisa berbeda. Jika pemerintah mengalihkan subsidi BBM ke sektor produktif, seperti infrastruktur dan pertanian, maka pertumbuhan ekonomi bisa terjaga atau bahkan bisa meningkat

No comments:

Post a Comment