Kebocoran air karena penggunaan ilegal dan pencurian di Jakarta tahun 2014 mencapai 40 persen.
Direktur Utama PAM Jaya, Sri Widiyanto Kaderi mengatakan belum ada solusi tepat untuk menindak pencurian air karena air merupakan bagian kebutuhan mendasar masyarakat. "Tapi kami mencoba untuk mengurangi tindak pencurian hingga 10 persen tahun depan," kata Sri di Gedung Wali Kota Jakarta Utara, Senin 22 Desember 2014.
Tahun ini kebocoran air karena penggunaan ilegal dan pencurian di Jakarta mencapai 40 persen. Dari sekian banyak kasus pencurian air oleh masyarakat, menurut Presiden Direktur PT Aetra Air Jakarta, Mohamad Selim tingkat kehilangan air (non revenue water) tertinggi berada di wilayah Jakarta Utara yaitu sebesar 46 persen. Selim mengakui selama ini pemberantasan sulit dilakukan karena daerah pelayanan Strategic Bussiness Unit (SBU) Utara rata-rata berada di lingkungan kumuh dan tanah tak bertuan (ilegal settlement).
Selanjutnya, menurut Selim temuan ilegal di tahun 2014 untuk di wilayah SBU Utara ditemukan 1.480 titik. Dari kasus tersebut 69 persen pencurian dilakukan oleh pelanggan resmi sedangkan 31 persen sisanya oleh oknum non pelanggan Aetra.
Selim melanjutkan, jumlah air yang hilang akibat penggunaan ilegal dan pencurian di Jakarta mencapai 1,4 juta kubik atau mencapai kerugian sekitar Rp 9,8 miliar. Sehingga terkait kasus pencurian tersebut Aetra telah kehilangan 2,4 juta meter kubik air per bulan.
Pencurian air menurut Selim dilakukan oleh oknum yang belum bisa diidentifikasi. Ia pun tidak mengelak jika pelaku pencurian tak hanya dari warga tapi juga bisa dari karyawan di perusahaannya maupun dari PAM Jaya sendiri. "Jika memang ada oknum dalam tentu akan kami pecat," kata dia.
Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya) mencatat tingkat kebocoran air bersih (Non-Revenue Water/NRW) di wilayah Jakarta masih berada pada kisaran 40 persen. Angka itu nyaris tidak berubah dari tahun ke tahun. Bahkan, sampai Oktober 2014, kebocoran air mencapai 42 persen
Direktur Utama PAM Jaya Sri Widyanto Kaderi mengatakan persentase kebocoran air di Ibu Kota sangat buruk dibandingkan dengan rata-rata persentase kebocoran air secara nasional. Rata-rata kebocoran air secara nasional itu sebesar 33 persen. "Angka ini jauh lebih tinggi dari batas toleransi yang ditetapkan pemerintah pusat," kata Sri di kantornya, Kamis, 6 November 2014.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 1999 tentang Batas Maksimal Kebocoran Air Bersih untuk PAM, maksimal NRW hanya 20 persen. Sri mengatakan kebocoran sebagian besar disebabkan pencurian oleh masyarakat. Ada beberapa modus yang digunakan untuk mencuri air PAM Jaya. Di antaranya, pemutusan sambungan pipa yang kemudian ditampung di sebuah bak atau hidran. Biasanya, ujar Sri, dari hidran, air tersebut disalurkan kembali ke warga untuk diperjualbelikan.
Sri mengaku telah melakukan berbagai cara untuk menekan tingkat kebocoran minimal sama dengan rata-rata nasional. Salah satunya dengan menerjunkan tim gabungan yang terdiri atas PAM, Palyja, dan Aetra untuk menindak pelaku pencurian. Selain menindak, tim juga melakukan sosialisasi terhadap warga agar tidak melakukan pencurian
Tim gabungan yang dibentuk sejak tahun 2011 lalu telah menindak ribuan orang yang mencuri air. Beberapa orang sudah masuk bui karena perbuatan mereka itu. Namun langkah ini dinilai tidak efektif karena hukuman yang diberikan sangat ringan.
Menurut Sri, hukuman bagi pelaku pencuri air diatur berdasarkan Peraturan Daerah 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum. Mereka yang terbukti bersalah hanya dikurung paling lama 6 bulan dan denda maksimal Rp 50 juta. "Mereka tidak jera," kata Sri.
Karena itu, Sri berencana mengajukan revisi aturan tersebut. Ia ingin pelaku dijerat dengan hukuman yang berat. Pelaku, kata dia, bisa juga dijerat dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup. Dengan aturan itu, pelaku bisa didenda sampai Rp 10 miliar.
No comments:
Post a Comment