"Karena kilang Pertamina itu tidak bisa memproduksi RON 92," kata Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu, 24 Desember 2014.
Menurut Sofyan, perlu waktu bagi pemerintah untuk mengubah produksi bensin. Ke depan, Pertamina diminta mempercepat rehabilitasi kilang termasuk mengundang investor. "Sehingga bisa mendapatkan kilang dalam jangka waktu dua hingga tiga tahun," katanya.
Sofyan mengakui bahwa kondisi ini merupakan dilema. Di satu sisi pemerintah ingin RON yang lebih tinggi untuk efisiensi dan lingkungan. Namun di sisi lain, Pertamina belum siap melakukan itu. "Kenyataan di lapangan perlu dipikirkan," ujarnya.
Menurut Sofyan, saat dia menjabat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara, pemerintah sudah merencakan untuk membangun kilang pada 2008-2009. Namun kemudian distop dan baru sekarang wacana itu muncul kembali. "Kalau program itu dulu dilaksanakan harusnya sudah bisa dapatkan RON 92. Kilang Pertamina itu sudah berumur 40 tahun lebih, paling baru Balongan dan itu juga sudah 30 tahun," Sofyan menambahkan.
Sebelumnya, Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi merekomendasikan agar pemerintah dan PT Pertamina (Persero) menghentikan impor produk bahan bakar minyak jenis premium alias bensin beroktan 88. Selain mahal, produk ini langka di pasaran global.
BBM jenis Premium merupakan minyak dengan nilai oktan (RON) 88. Masalahnya tidak ada lagi negara yang memproduksi minyak RON 88. Sebab standar Eropa mengharuskan produksi BBM minimal berupa minyak RON 92 atau dikenal di Indonesia dengan merek Pertamax. Lalu, dari mana PT Pertamina (Persero) mendapatkan Premium untuk memenuhi konsumsi yang mencapai rata-rata 37 juta kiloliter per tahun?
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengungkapkan cara Pertamina memproduksi Premium dari bahan baku Pertamax. Ramuannya: “Satu liter premium berasal dari mengimpor 0,8 liter Pertamax dicampur nafta (hasil lain dari kilang minyak) yang juga diimpor,” katanya saat berkunjung ke kantor .
Inilah yang membuat harga Premium di dalam negeri lebih mahal ketimbang harga Pertamax di luar negeri. “Input mahal,output murah. Beli mahal dicampur supaya murah,” Bambang menambahkan.
Sejak 18 November 2014 pemerintah menaikkan harga Premium dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 per liter. Besarnya konsumsi masyarakat terhadap produk minyak membuat kenaikan harga Premium selalu diiringi protes Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal ada sumber energi yaitu gas yang melimpah tetapi tidak diprioritaskan untuk kebutuhan domestik.
Menurut Bambang, persoalan ini sudah terbaca oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang baru, Sudirman Said. Sudirman berkomitmen akan mendorong penggunaan gas sebagai bahan bakar. “Menteri Energi yang baru setuju dengan konversi ke gas,” katanya.
No comments:
Post a Comment