Apple lagi-lagi menjadi sorotan akibat kondisi para pekerjanya di pabrik pemasok komponen elektronik untuk iPhone. Kali ini ialah dari hasil investigasi wartawan yang menyamar sebagai seorang pekerja di pabrik Pegatron, tepian kota Shanghai. Investigasi tersebut direkam dan disiarkan dalam tayangan Panorama: Apple’s Broken Promises di BBC.
Mereka menemukan pelanggaran terhadap standar waktu kerja, kartu identitas, asrama, bahkan aturan soal pekerja anak. Salah satu jurnalis yang menyamar di pabrik pembuatan suku cadang komputer Apple mengatakan, dia harus bekerja 18 hari berturut-turut meski telah berulang kali meminta istirahat.
Sementara itu, jurnalis lain yang menyamar di sana menceritakan bahwa waktu shift kerja terpanjang yang dialaminya mencapai 16 jam. "Setiap pulang ke asrama, saya sudah tidak ingin untuk bergerak lagi," ujarnya seperti dikutip dari BBC, Minggu (21/12/2014).
"Bahkan, jika lapar, saya kesulitan bangun. Saya cuma ingin berbaring serta istirahat. Saya juga tidak bisa tidur karena tertekan," imbuhnya.
Apple menolak diwawancara untuk program tersebut. Raksasa teknologi dari California ini tak setuju dan menyangkal hasil investigasi yang ditayangkan BBC itu. Apple mengatakan selalu memantau jam kerja para pekerja di pabrik rekanannya. Menurut mereka, staf di Pegatroin bekerja dengan waktu rata-rata 55 jam per pekan.
Pada 2011 silam, Apple sempat menjadi sorotan akibat kasus bunuh diri yang terjadi di pabrik Foxconn di China. Pemicu kasus bunuh diri tersebut dikaitkan dengan pekerjanya yang harus kerja selama 12 jam sehari.
Pasca-kasus tersebut merebak, Apple mengirimkan seorang pengawas independen dari Asosiasi Tenaga Kerja AS untuk mengaudit fasilitas tersebut. Kemudian, Foxconn pun mulai melakukan perubahan, yakni gaji pekerja dinaikkan dan jam kerja dikurangi.
Hubungan Apple dengan pabrik perakit perangkatnya di China, Foxconn, diwarnai sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap para pekerja yang terlibat. Belakangan, muncul laporan bahwa tenaga kerja di pemasok-pemasok komponen Apple terjerat hutang karena pekerjaannya.
Kejadian ini, berdasarkan laporan Bloomberg, bisa ditelusuri hingga waktu kemunculan Phone 5 tahun lalu. Ketika itu, para rekanan Apple segera mendapat tekanan untuk meningkatkan produksi komponen iPhone seperti kamera 8 megapixel.
Perekrutan tenaga kerja baru untuk pabrik pun dilakukan oleh perusahaan-perusahaan semacam Flextronics International, salah satu supplier terbesar Apple.
Perusahaan-perusahaan ini merekrut orang-orang dari sejumlah daerah miskin di Indonesia, Kamboja, Myanmar, dan Nepal. Dalam melakukan hal tersebut, mereka menyewa jasa broker yang mengenakan biaya tinggi kepada tenaga kerja yang bersangkutan untuk "kesempatan bekerja di pabrik".
Biaya itu dibebankan sebagai hutang yang harus dibayar kepada broker, nilainya bisa sebanding dengan gaji seorang pekerja selama satu tahun penuh.
Para pekerja dilaporkan harus menyerahkan paspor mereka ke broker sebagai jaminan bahwa mereka akan membayar hutang sampai selesai. Sejumlah pekerja terpaksa menjual aset mereka untuk menutup hutang setelah diberhentikan dari pabrik.
Flextronics telah menugaskan pihak di luar perusahaan untuk menyelidiki perihal biaya yang dibebankan pada para pekerja baru. Sementara, juru bicara Apple Chris Gaither mengatakan bahwa perusahaannya akan memastikan bahwa "pembayaran yang semestinya telah dilakukan".
Dalam sebuah pernyataan tertulis, Apple mengatakan telah menerapkan aturan baru di mana pekerja yang direkrut melalui broker harus diwawancarai langsung oleh pihak pemasok komponen untuk menghapus praktek menjerat dengan hutang tersebut.
No comments:
Post a Comment