Ada beberapa hal yang diatur dalam beleid tersebut. Berikut poin-poin utamanya.
- Pertama, definisi IKM pemilik ETPIK adalah industri pemilik Tanda Daftar Industri (TDI) dan Izin Usaha Industri (IUI) yang telah mendapat pengakuan sebagai ETPIK tetapi belum memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) dengan batasan nilai investasi sampai dengan Rp 10 miliar.
- Kedua, IKM pemilik ETPIK yang belum memiliki S-LK dapat melakukan ekspor produk industri kehutanan dengan menggunakan Deklarasi Ekspor sebagai pengganti Dokumen V-Legal.
- Ketiga, setiap 1 (satu) Deklarasi Ekspor hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) kali penyampaian pemberitahuan pabean ekspor.
- Keempat, IKM pemilik ETPIK mengirimkan Deklarasi Ekspor melalui Sistem Informasi Legalitas Kayu Online (SILK Online) ke portal Indonesia National Single Window (INSW) secara elektronik
- Kelima, Ketentuan mengenai Deklarasi Ekspor yang digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean berlaku sampai dengan 31 Desember 2015.
Sebelumnya, Permendag No. 64/M-DAG/PER/10/2012 menetapkan bahwa sejak 1 Januari 2013 ekspor produk industri kehutanan hanya dapat dilakukan oleh ETPIK yang telah memiliki sertifikat legalitas kayu (S-LK) kecuali produk mebel.
Setiap kali melakukan ekspor, ETPIK pemilik S-LK melampirkan Dokumen V-Legal yang merupakan dokumen pelengkap Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), yang sekaligus merupakan bukti legalitas produk perkayuan yang diekspornya. Dengan diterbitkannya Permendag No. 97/M-DAG/PER/12/2014 maka Permendag No.64/M-DAG/PER/10/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 81/M-DAG/PER/12/2013, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.
“Inti dari Permendag yang baru ini adalah mengatur penyertaan dokumen Deklarasi Ekspor bagi IKM pemilik ETPIK yang belum memiliki S-LK pada saat melakukan ekspor sebagai pengganti Dokumen V-Legal,” ucap Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, Senin (29/12/2014).
Rachmat menambahkan, Kemendag segera akan mengeluarkan daftar IKM pemilik ETPIK yang diperbolehkan mengekspor produk industri kehutanan yang tercantum dalam Permendag tersebut. Apabila dalam daftar tersebut IKM belum terdaftar, maka dapat diusulkan untuk ditambahkan dalam daftar.
Pengusaha produk kayu yang tergabung dalam Asosiasi Mebel Kayu dan Rotan Indonesia (AMKRI) menyambut baik revisi aturan terkait sertifikasi legalitas kayu. AMKRI optimistis target ekspor yang dipatok pemerintah pun bakal terealisasi. “Saya merasa bahagia, di akhir 2014 ini mudah-mudahan kita menutup ha yang tidak begitu menggembirakan. Mudah-mudahan di bawah Pak Menteri Rachmat ekspor kita selalu meningkat dan mendapat rahmat,” ujar Ketua Umum AMKRI Sunoto, Jakarta, Senin (29/12/2014).
Sunoto menuturkan, pemerintah menargetkan nilai eksport funitur menjadi 5,1 miliar dollar AS, dari nilai ekspor tahun lalu yang sekitar 1,7 miliar dollar AS. Namun, catatan AMKRI sendiri menunjukkan hingga detik ini ekspor furnitur mencapai 1,972 miliar dollar AS.
“Jadi dengan pertumbuhan 20 persen, nanti (5 tahun) berikutnya mencapai 5,3 miliar dollar AS. Sekarang 1,972 miliar dollar AS, mungkin sampai 2 miliar dollar AS di akhir tahun ini,” ucap Sunoto.
Kalah Dibanding Vietnam. Menurut Sunoto, kecilnya ekspor furnitur Indonesia dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam, salah satunya disebabkan regulasi dan birokrasi yang berbelit serta memakan biaya. Dia tidak ingin revisi peraturan SVLK tidak hanya manis di dokumen, namun dalam implementasinya tetap memberatkan pengusaha.
Sebagai perbandingan, Sunoto mencontohkan saat ini ekspor furnitrut Vietnam sudah mencapai 5,2 miliar dollar AS. Jika birokrasi tidak berbelit, seharusnya nilai ekspor furnitur saat ini sudah mencapai 10 miliar dollar AS. Namun nyatanya, ekspor furnitur Indonesia belum mencapai 2 miliar dollar AS.
“Kalau China, terlalu jauh (perbandingannya). Itu (nilai ekspor China) masih sangat fantastis. Nilainya sekitar 40-50 miliar dollar AS,” imbuh Sunoto. Pelonggaran peraturan legalitas kayu menurunkan biaya produksi bervariasi pada tiap-tiap skala usaha. “Tapi paling tidak, buat pengusaha itu sistem atau regulasi yang ada itu, yang kami tuntut adalah tidak ada biaya dan prosedurnya simple,” pungkas Sunoto.
Pemerintah melalui Menteri Perdagangan mengeluarkan peraturan yang mempermudah sertifikasi legalitas kayu, guna menggenjot ekspor produk kayu. Peraturan tersebut yakni Peraturan Menteri Perdagangan No. 97/M-DAG/PER/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Peraturan ini merupakan sinergi tiga kementerian yakni Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Melalui sinergi kementerian ini, kami berharap terjadi peningkatan ekspor produk industri kehutanan seperti mebel dan kerajinan,” ucap Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, di Jakarta, Senin (29/12/2014).
Untuk melengkapi peraturan tersebut, Kementerian LHK juga menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.
“Pada Permen-LHK ini persyaratan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) pemilik Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) mebel/furnitur menjadi disederhanakan. Tujuannya agar tidak memberatkan atau membebani. Namun, hal itu tetap mendukung kelancaran ekspor produk kayu yang memenuhi SVLK,” imbuh Rachmat.
Menurut Rachmat, Permendag baru ini ditetapkan sebagai tindak lanjut dari hasil pertemuan tiga Menteri, yaitu Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, serta Menteri Perindustrian Saleh Husin bersama para Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dunia usaha, dan Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) pada 27 November 2014 lalu.
Pertemuan tersebut dilaksanakan guna menyikapi keluhan terkait SVLK yang dirasa memberatkan bagi IKM. Menurut Sunoto, Ketua Umum Asosiasi Mebel Kayu dan Rotan Indonesia (AMKRI) untuk mengembangkan industri furnitur dan kayu memang sudah seharusnya ada koordinasi antar kementerian, ditambah kerjasama dengan pelaku usaha.
“Saya merasa bahagia, di akhir 2014 ini mudah-mudahan kita menutup ha yang tidak begitu menggembirakan. Mudah-mudahan di bawah Pak Menteri Rachmat ekspor kita selalu meningkat dan mendapat rahmat,” ujar Sunoto.
Menteri Rachmat Gobel telah menargetkan nilai ekspor meningkat 300 persen selama lima tahun ke depan. Khusus untuk furnitur nilai ekspor dipatok naik 300 persen, dari sekitar 1,7 miliar dollar AS pada 2014 menjadi 5,1 miliar dollar AS pada 2019 mendatang.
No comments:
Post a Comment