Bibit padi tumbuh subur menghijau pada petak sawah tergenang air. Sarjono, 56 tahun, duduk di timba kecil yang ia balik, menghadap petak bibit itu. Hati-hati Sarjono mencabut akar padi berumur dua puluh hari itu. Lalu, ia mencelupkannya ke dalam kubangan air supaya bersih. Bibit padi selanjutnya ia kumpulkan berjajar. Benih yang Sarjono cabut merupakan varietas padi lokal bernama Genjah Rante.
Petani Gilangharjo, Pandak, Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta ini menanam benih itu pada petak lahan 150 meter persegi. Musim tanam akhir jelang penghujung Desember tahun ini telah tiba, Sarjono bersiap menanam benih padi itu di lahan miliknya. “Ini musim tanam yang baik. Saya ikut pranata mangsa(perkiraan waktu) tanam yang dibicarakan di dalam kelompok tani,” kata Sarjono.
Sarjono merupakan anggota kelompok tani Lumbung Tani Lestari. Kelompok tani ini menerapkan sistem pertanian berbasis kemandirian. “Kami hanya menanam benih padi lokal, menggunakan pupuk alami dari kotoran ternak dan dedaunan agar menjadi kompos,” kata Koordinator Bidang Pertanian Koperasi Simpan Pinjam Credit Union Tyas Manunggal Mulyono, Selasa, 23 Desember 2014.
Kelompok tani Lumbung Tani Lestari merupakan anggota Koperasi Tyas Manunggal. Sebanyak 20 petani yang menjadi anggota kelompok. Sarjono satu di antaranya, punya saham di koperasi itu. Kelompok tani telah berdiri sejak enam tahun lalu. Mereka berhimpun ke koperasi sebagai upaya mereka untuk mandiri dalam keuangan.
Koperasi Tyas Manunggal berkantor pusat di Ganjuran, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul. Koperasi ini punya bidang yang berhubungan dengan pertanian, seperti bidang pertanian maupun pangan lokal yang sehat. Selain petani, koperasi ini juga menghimpun anggota dari kalangan pedagang, pegawai negeri sipil, dan aneka jenis pekerjaan lainnya. Jumlah anggota sebanyak 1.300-an orang, dengan aset sekitar Rp 12 miliar.
Sarjono mengatakan padi jenis Genjah Rante menghasilkan panenan yang baik. Sekali panen, ia bisa memetik 640 kilogram gabah pada petak lahan seluas 150 meter persegi. Sarjono punya total lahan sawah seluas 3 ribu meter persegi. Harga hasil panenan padi varietas lokal itu tak kalah dengan beras nonlokal IR64 yang lebih dikenal oleh masyarakat.
Harga gabah kering jenis Genjah Rante Rp 4.500 per kilogram dan dalam bentuk beras Rp 9.000. Sedangkan harga gabah kering IR64 Rp3.500-4.000 per kilogram. Dalam bentuk beras, IR64 per kilogram berharga Rp 8.600-Rp 9.000. Cita rasa beras lokal Gajah Rante pun tak kalah enak dengan beras IR64.
Sarjono memilih untuk menanam padi varietas lokal karena budi dayanya jauh lebih mudah dibandingkan padi jenis lainnya, seperti IR64 dan jenis padi hibrida. Dia tak perlu menggunakan pupuk kimia dalam dosis besar seperti pada jenis padi nonlokal. Sarjono hanya menggunakan pupuk dari kotoran sapi miliknya.
Dia mencontohkan untuk lahan dengan panjang sepuluh meter dan lebar satu meter hanya perlu biaya budi daya sebesar Rp 7 ribu. Biaya budi daya ini meliputi pembelian benih dan perawatan padi. Padi Genjah Rante lebih tahan terhadap hama. Sehingga, ia tak perlu keluar duit untuk beli pestisida. “Kalau menanam padi IR64 pasti ongkosnya lebih mahal karena perlu lebih banyak menggunakan pupuk pabrik dan pestisida,” katanya.
Koordinator bidang pertanian Koperasi Simpan Pinjam Credit Union Tyas Manunggal Mulyono mengatakan hampir semua anggota kelompok tani Lumbung Tani Lestari menggunakan benih padi varietas lokal. Setiap hektare petani mampu menghasilkan delapan ton gabah kering dalam sekali panen.
Harga gabah jenis ini tidak anjlok ketika panen raya tiba. Selain varietas Genjah Rante, petani juga menanam varietas lokal lainnya, di antaranya Mentik Susu. Beras produksi petani Kecamatan Pandak ini telah dijual ke Bandung, dan Jakarta secara ajek. “Pasar lambat laun menyukai beras varietas lokal yang lebih sehat dikonsumsi karena tak banyak pupuk kimia dan pestisida,” kata Mulyono. Ia juga jadi penggerak bagi anak muda agar suka menjadi petani.
Selain mampu memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri, mereka rata-rata memiliki tabungan di koperasi. Mereka bisa meminjam uang di koperasi untuk mengembangkan usahanya. Misalnya untuk beternak lele, sapi, kambing, membeli tanah pekarangan, dan memperluas kepemilikan lahan sawah.
Keberhasilan kelompok tani Lumbung Tani Lestari di Gilangharjo Pandak tak lepas dari peran Hery Astono. Ia ketua kelompok tani Lumbung Tani Lestari Dusun Dowaluh, Trirenggo, Bantul. Inisiatif mendirikan kelompok ini muncul setelah gempa menghajar Yogyakarta pada Mei 2006. Tak lama setelah gempa, masyarakat trauma terhadap alam atau lurang bergairah pergi mengolah sawah.
Kondisi ini membuat organisasi non-pemerintah, Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan turun tangan. Supaya masyarakat bangkit, mereka meminjami benih beras merah varietas lokal bernama Saodah. Waktu itu benih ditanam pada lahan seluas dua hektare dan berhasil panen baik. “Ini jadi titik balik sehingga lumbung padi mulai hidup,” kata Hery Astono. Lalu, ia menularkannya kepada kelompok tani di Gilangharjo, Pandak, Kecamatan Trirenggo.
Sebenarnya, petani sudah sejak nenek moyang telah mengenal lumbung padi. Namun lumbung lambat laun mati sejak tahun 1976, akibat kebijakan revolusi hijau Presiden Soeharto. Padi varietas lokal kalah dan terpinggir karena pemerintah gencar mengenalkan varietas baru nonlokal yang tumbuhnya mengandalkan pupuk kimia dan semprotan pestisida.
Sehingga, beras jenis padi nonlokal lebih banyak mendominasi pasaran. Beras varietas lokal “hilang” dari petani. Namun buruk akibatnya, petani tak tertarik menyimpan padi nonlokal di lumbung. Sebab, jenis padi nonlokal pada umumnya tak tahan lama disimpan di lumbung. “Ini beda dengan padi lokal yang tahan lama,” kata Hery Astono.
Ia mengatakan lumbung adalah sebuah sistem, bukan hanya sebuah bangunan. Ketika musim paceklik tiba, petani meminjam gabah di lumbung milik kelompok tani. Ketika musim panen tiba, mereka akan mengembalikan gabah yang dipinjam. Mereka menggunakan sistem simpan pinjam 10-12. Jika mereka sebelumnya, misalnya pinjam sepuluh kilogram, ketika panen mengembalikannya 12 kilogram gabah. Kelebihan pengembalian gabah ini menjadi milik bersama dalam koperasi, sekaligus menjadi cadangan menghadapi musim paceklik.
Lumbung menjaga keberlangsungan produksi pertanian. Sebab, lumbung menjaga benih padi. Stok beras akan habis kalau tak ada benih untuk ditanam. “Jadi, lumbung tak semata tumpukan gabah, tapi sitem kemandirian,” katanya.
Petani berdaulat atas pangan, benih, pupuk, dan sukses memasarkan produknya. Mereka tak pernah kelimpungan ketika harga benih naik karena punya cadangan sendiri. Selain itu, ketika pupuk kimia langka, mereka tenang karena mereka mengandalkan pupuk organik yang mereka olah sendiri dari kandang sapi dan kambing miliknya.
Setiap musim panen tiba, di satu lokasi bisa memanen hingga sebelas ton per hektare. Varietas nonlokal bisa panen hingga sepuluh ton per hektare. Ini sekaligus meruntuhkan cap buruk bahwa benih padi varietas lokal itu penyakitan dan rendah produktivitasnya.
Gagasan lumbung padi makin berkembang. Pada tahun 2010, kelompok tani mulai memasarkan produknya yang melimpah. Mereka menjual beras panenannya ke Jakarta dan Bogor. Satu keluarga petani rata-rata mampu menjual seratus kilogram beras dalam sekali musim panen.
Tabungan petani di koperasi adalah satu di antara cara untuk mengukur petani di desa itu sejahtera. Aset koperasi setiap tahun selalu berkembang. Tahun 2013, misalnya, aset Koperasi Simpan Pinjam Tyas Manunggal sebesar Rp 12 miliar. Pada akhir tahun 2012, aset koperasi sebesar Rp 9 miliar. Ada kenaikan aset yang lumayan.
Aliansi Desa Sejahtera mengapresiasi usaha kelompok tani bertahan dengan benih varietas lokal dan menciptakan kemandirian pangan. Organisasi non-pemerintah itu mencatat angka impor produk pertanian Indonesia sangat tinggi. Rata-rata impor beras misalnya per tahun hampir mencapi 2 juta ton. Sedangkan, gandum mencapai tujuh ton. Angka impor Indonesia terhitung sejak tahun 2003-2013 melonjak hingga 346 persen.
Koordinator Nasional Aliansi Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko menyatakan, kondisi yang kian memprihatinkan menimpa petani yang jumlahnya semakin berkurang. Tejo merujuk pada data Badan Pusat Statistik tahun 2013 yang menyebutkan Indonesia kehilangan petani sebanyak 5 juta orang.
Selain itu, jumlah lahan pertanian semakin menyusut akibat alih fungsi lahan. Laju kehilangan sumber pangan mencapai 6,4 persen atau setara dengan 100 ribu hektare lahan hilang per tahun pada kurun 2003-2013. "Ini lampu merah, Indonesia darurat pangan," katanya.
Peneliti Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Amalia mengatakan Indonesia tidak perlu impor, jika pembuat kebijakan peduli tentang beragamnya varietas produk pertanian. Setiap daerah di Indonesia memiliki beraneka varietas lokal sumber karbohidrat dari pangan.
Dia mencontohkan, Papua yang punya 400 varietas sumber karbohidrat. “Pembuat kebijakan malas dan tak mau berkeringat untuk membela rakyat. Bagi mereka yang penting keluarkan regulasi,” katanya.
Menurut dia, peran kelompok tani di pedesaan penting untuk menjaga ketersediaan pangan. Selain itu, mereka menjalankan usaha mengikuti musim. Misalnya ketika musim kemarau tiba, kelompok tani di Yogyakarta memanfaatkan umbi-umbian untuk diolah menjadi tepung. Umbi-umbian itu bisa ditanam pada lahan yang bukan untuk komersial. “Ini membuat mereka mandiri dan punya ketersediaan pangan yang cukup ,” katanya.
No comments:
Post a Comment