Thursday, December 4, 2014

Analisa Potensi Harga Saham Group Bakrie

Senior analis dari LBP Enterprise, Lucky Bayu Purnomo, mengatakan nama Aburizal Bakrie masih mempengaruhi harga saham perusahaan yang ia miliki. "Nama besar Bakrie berpengaruh 20 persen," katanya saat dihubungi, Kamis, 4 Desember 2014. Faktor lainnya adalah pengaruh kinerja perusahaan. Lucky mengatakan, selama tiga tahun terakhir, saham Bakrie Group sudah tak bergerak dari harga Rp 50 per lembar.

Padahal, kata dia, yang diminati oleh pelaku pasar adalah margin dan dividen yang menarik. Bakrie Group tak mampu menawarkan keduanya. "Jadi tak ada yang bisa diharapkan," ujarnya. Saham gocap merupakan istilah yang biasa digunakan di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk saham yang nilainya Rp 50 per lembar. Saham ini biasanya sudah tidak likuid dan jarang sekali bergerak.

Sejumlah perusahaan yang bernaung di bawah bendera Bakrie Group sudah masuk dalam kategori saham gocap ini, di antaranya Bakrie Sumatra Plantation (UNSP), Darma Henwa (DEWA), Bakrieland Development (ELTY), dan Bakrie Brothers (BNBR). Bukan tak mungkin, menurut Lucky, saham perusahaan pertambangan Bakrie, yaitu PT Bumi Resources Tbk, juga masuk dalam kategori saham gocap.

Saat ini Bumi Resources sedang dililit utang dalam jumlah jumbo. Hingga September 2014, jumlah utangnya mencapai US$ 3,73 miliar atau sekitar Rp 44,77 triliun. Utang terbesar berasal dari Country Forest Limited Facility sebesar US$ 1,03 miliar, yang merupakan lembaga keuangan milik China Investment Corporation (CIC).

Direktur Keuangan BUMI Andrew Christopher Beckham mengatakan, pada awalnya, utang kepada CIC mencapai US$ 1,9 miliar dengan tingkat bunga tetap 12 persen. Namun, pada tahun 2013 dan 2014, perseroan telah membayar ‎masing-masing US$ 600 juta. "Tahun depan akan dibayar US$ 700 juta," kata Andrew saat konferensi pers di Jakarta, Rabu, 26 November 2014.

Penurunan peringkat utang PT Bumi Resources (BUMI) Tbk menjadi gagal bayar membuat harga saham emiten itu terjun bebas. Pada penutupan perdagangan sesi pertama siang ini, Kamis, 4 Desember 2014, saham Bumi kembali merosot ke level Rp 79 per lembar atau terkoreksi 2,46 persen.

Anjloknya saham Bumi merembet ke saham-saham pertambangan kelompok usaha Bakrie lain seperti Bumi Resources Mineral (BRMS) yang turun 3,29 persen hari ini. Analis dari PT Investa Saran Mandiri, John Vetter, memperkirakan tekanan jual yang terjadi pada saham pertambangan kelompok Bakrie bisa membuat harga terus merosot. "Tekanan utang dan turunnya harga batu bara di pasar komoditas adalah penyebabnya."

Bila tekanan jual terus terjadi, John memperkirakan saham Bumi bisa menyusul saham-saham kelompok Bakrie lain yang berada di "kelompok gocap" atau saham dengan harga Rp 50 per lembar seperti Bakrie Sumatra Plantation (UNSP), Darma Henwa (DEWA), Bakrieland Development (ELTY), dan Bakrie Brothers (BNBR).

Harga Rp 50 itu pun sudah ditolong oleh peraturan Bursa Efek Indonesia yang menetapkan harga terendah sebuah saham adalah Rp 50. "Kalau tidak ada peraturan bursa, bisa saja harganya lebih rendah dari itu," kata John. Menurut John, boleh dikatakan sudah tidak ada harapan bagi pemegang saham Bumi. Kecuali ada mukjizat harga minyak dunia naik tajam dan mendorong harga batu bara di pasar komoditas.

Bagi perusahaan, ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama, melakukan transfer utang ke saham. Perusahaan bisa melakukan pembelian saham (buyback) di pasar sekunder dan memberikan seluruh saham tersebut kepada kreditur. "Kemudian opsi yang kedua adalah menjual perusahaan kepada investor lain."

Kemarin, Standard & Poor's (S&P) menurunkan peringkat utang Bumi menjadi gagal bayar (default) dari sebelumnya selective default. Lembaga pemeringkat internasioal itu memprediksi perusahaan kelompok Bakrie itu tidak akan menyelesaikan utang-utangnya setidaknya dalam enam bulan ke depan.

Harga saham PT Bumi Resources Tbk diperkirakan semakin menurun setelah perusahaan tambang milik keluarga Bakrie itu dinyatakan gagal bayar (default) oleh lembaga pemeringkat Standard and Poors (S&P).  Menurut analis dari LBP Enterprise, Lucky Bayu Purnomo, saham berkode BUMI itu sudah dihindari investor sejak dua tahun terakhir. "Harga saham Bumi tidak mampu mewakili kinerja perusahaan tersebut," kata Lucky,Kamis, 4 Desember 2014.

Saham Bumi ditutup di level Rp 81 per lembar pada perdagangan Rabu, 3 Desember 2014, di Bursa Efek Indonesia. Harganya turun 2 poin atau 2,47 persen dibandingkan sehari sebelumnya. Pada sesi tengah siang ini, harga kembali anjlok ke level Rp 79 per lembar. Sejak dua tahun terakhir, harga saham BUMI terus merosot. Level tertinggi yang pernah dicapai yakni pada 19 Februari 2013, sebesar Rp 1.000 per lembar.

Lucky mengatakan biasanya investor tidak mengapresiasi saham emiten yang sama sekali tidak tampak kinerjanya. Berbeda dengan Bumi, kata dia, yang terlihat kinerjanya namun tetap tidak direspons oleh pasar. Harga saham Bumi pun bakal semakin tertekan, "Seiring dengan harga batu bara yang berada di level rendah," ujar Lucky. 

Pekan ini, lembaga pemeringkat Standard & Poors (S&P) menurunkan peringkat kredit PT Bumi Resources, lini bisnis utama Grup Bakrie di sektor pertambangan. S&P menurunkan peringkat utang Bumi dari selective default menjadi default alias gagal bayar.

Menurut analis dari Kredit S&P, Vishal Kulkarni, kredit korporasi Bumi dinyatakan default karena perusahaan ini dinilai tidak mampu membayar kewajibannya, setidaknya selama enam bulan ke depan. "Kami menduga Bumi akan mengalami generaldefault (gagal bayar secara keseluruhan)," kata dia seperti dikutip dari Reuters, Rabu, 3 Desember 2014.

Penilaian ini didasarkan S&P atas beberapa catatan, salah satunya saat tiga anak usaha Bumi Resources sudah mendapat persetujuan atas restrukturisasi utang dari pengadilan di Singapura. Tiga perusahaan itu yakni Bumi Investment Pte Ltd, Enercoal Resources Pte Ltd, dan Bumi Capital Pte Ltd yang berbasis di Singapura. Perusahaan-perusahaan itu juga dikabarkan sudah meminta perlindungan dari kreditur di Amerika, setelah menanggung utang Rp 3,7 triliun. Selain itu, Bumi gagal membayar bunga dari utang senilai US$ 700 juta.

No comments:

Post a Comment