Koalisi anti-mafia tambang mengatakan merintah menanggung kerugian hingga Rp 4,6 triliun rupiah dari kekurangan pembayaran iuran tetap dan royalti perusahaan tambang sepanjang 2010-2013. "Hal ini menunjukan masih lemahnya tata kelola sistem perizinan pertambangan di Indonesia," ujar Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah, Ahad, 7 Desember 204.
Perhitungan itu berdasarkan data yang diolah oleh lembaga tersebut. Kerugian antara lain dari hasil rekapitulasi data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara di 12 provinsi, ditemukan potensi kerugian negara dari kekurangan bayar 4.631 IUP (Izin Usaha Pertambangan) hingga Rp 3,768 triliun.
Selain itu ada pula potensi kerugian negara dari penyewaan lahan di 12 provinsi sehingga berpotensi menimbulkan kerugian sebesar Rp 919,18 miliar. Dari angka itu, tiga provinsi diantaranya memiliki potensi kerugian cukup besar, yakni Kalimantan sebesar Rp 754,94 miliar, Sumatera Rp 174,7 miliar, Sulawesi dan Maluku sebesar Rp 169,5 miliar.
Maryati menilai inistiatif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan koodinasi dan supervisi (Korsup) di bidang mineral dan batubara (minerba) di 12 provinsi beberapa waktu lalu, berjalan lamban. Dia mendesak Presiden Joko Widodo turun langsung ke lokasi pertambangan.
Dengan kondisi itu, lembaga itu mengeluarkan petisi #blusukantambang, kepada Jokowi dan jajaran pemerintah. Mereka mendesak pemerintah menghentikan operasional pertambangan di kawasan konservasi dan kawasan lindung, serta meminta KPK untuk menyelidiki dugaan korupsi dalam pemberian izin."Kalau Menteri Susi saja bisa meledakkan kapal pencuri ikan, sehingga menekan ekspor ikan illegal, pemerintah harusnya bisa blusukan tambang untuk menekan ekpsor pertambangan illegal," ujarnya.
Koalisi anti-mafia tambang yang merupakan gabungan dari ICW, Auriga, PWYP Indonesia, Seknas Fitra, Article 33 Indonesia, Icel, IWGFF, TII, IESR, IPC, Pattiro, MPM PP Muhammadiyah meminta Presiden Joko Widodo melakukan blusukan tambang. Kebijakan ini dilakukan untuk mengurai carut marutnya pengelolaan tambang saat ini.
Koordinator PWYP Indonesia Maryati menilai inistiatif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koodinasi dan supervisi di bidang mineral dan batubara (minerba) di 12 provinsi, berjalan lamban. Komisibelum menunjukan hasil signifikan, sehingga perlu upaya keseriusan dari pemerintah.
"Makanya kami menyerukan Presiden Jokowi, baik menteri, instansi sektoral maupun penegak hukum terkait melakukan blusukan secara langsung," ujarnya dalam keterangan persnya, di sekretariat ICW, Jakarta, Ahad, 7 Desember 2014.
Akibat pengelolaan sektor pertambangan yang carut marut, menurut Koalisi, pemerintah menanggung kerugian hingga triliunan rupiah dari kekurangan pembayaran iuran tetap dan royalti perusahaan tambang sepanjang 2010-2013. "Hal ini menunjukan masih lemahnya tata kelola sistem perizinan pertambangan di Indonesia," ujar Maryati.
Presiden Joko Widodo sedang menggalakkan pendapatan dari sektor pertambangan. Pemerintah akan menggenjot pendapatan dari sektor ini.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pajak Mardiasmo sebelumnya menyatakan hanya 20 persen perusahaan tambang yang membayar pajak. Adapun sisanya, tak memiliki nomor pokok wajib pajak. Mardiasmo mengancam akan menindak tegas perusahaan tambang yang alpa membayar pajak.
No comments:
Post a Comment