Monday, August 24, 2015

Bank Indonesia Diminta Prioritaskan Cadangan Devisa Daripada Jaga Rupiah

Posisi rupiah terhadap dolar semakin tertekan dari waktu ke waktu. Pada perdagangan hari ini, Senin (24/8), rupiah sempat menembus angka Rp 14 ribu per dolar Amerika Serikat (AS), menjadi level terendah sejak 17 Juni 1998 yang ketika itu tercatat Rp 16.650. Apabila perdebatan soal kurs sebelumnya hanya merisaukan kalangan tertentu pemilik dolar, saat ini masyarakat awam yang belum tentu punya dolar juga ikut mempergunjingkan karena dampaknya mulai dirasa memberatkan.

Apabila mengintip diskusi terbuka para netizen di dunia maya, publik mulai mempertanyakan kenapa pemerintah terkesan tidak berupaya menahan rupiah pada level tertentu, seperti halnya yang dilakukan oleh China dengan Yuan-nya. Sebelum masuk ke sana, perlu sedikit membalik halaman sejarah tentang sistem nilai tukar. Dalam konsep ekonomi global, sistem nilai tukar telah mengalami evolusi pasca perang dunia kedua ketika emas tak lagi dijadikan standar acuan peredaran uang.

Kemenangan AS dan sekutunya melahirkan sistem Bretton Woods, di mana dolar mulai saat itu secara perlahan menjadi acuan nilai tukar global. Respons negara-negara dunia mulai beragam, terlebih setelah delapan negara Eropa memperkenalkan European Monetery System (EMS) pada 1979, yang membiarkan mata uang mereka mengambang terhadap dolar.

Pada perkembangannya saat ini, dikenal tiga sistem nilai tukar yang berlaku di dunia, yakni sistem kurs tetap (fixed exchange rate), kurs mengambang terkendali (managed floating exchange rate), dan kurs mengambang bebas (free floating exchange rate). Untuk jenis yang pertama, fixed exchange rate, bank sentral selaku otoritas moneter mematok nilai tukar pada level tertentu. Stabilitas kurs dijaga menggunakan cadangan devisa sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh dinamika pasar uang global.

Dengan sistem ini, peluang spekulan untuk bermain di pasar uang sangat kecil. Namun, hanya negara-negara yang punya cadangan devisa sangat besar yang bisa menerapkan sistem ini. Seperti halnya China, yang belakangan ini menetapkan nilai tukar Yuan pada level yang lebih rendah (devaluasi) guna mendorong ekspornya. Sistem berikutnya adalah kurs mengambang terkendali (managed floating exchange rate). Nilai tukar dibiarkan mengambang, tetapi masih ada campur tangan pemerintah untuk mengendalikan fluktuasinya.

Di negara yang menerapkan konsep ini, otoritas moneter harus bersaing dengan spekulan dalam membuat proyeksi sekaligus menetapkan kurs. Untuk itu, bank sentral juga harus punya cadangan devisa yang cukup jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk mengendalikan uang beredar.  Indonesia pernah menganut gaya ini pada 1978, ketika rupiah didevaluasi sebesar 33 persen. Cara ini tidak cukup efektif menstabilkan rupiah, yang dari tahun ke tahun semakin terdepresiasi.

Ketika krisis moneter meluluhlantahkan ekonomi Indonesia pada 1997, Pemerintah akhirnya menganut rezim yang ketiga yaitu free floating exchange rate, hingga saat ini. Rupiah dibiarkan mengambang bebas menyesuaikan dengan jumlah cadangan devisa yang terbatas.

Anton H. Gunawan, Ekonom yang juga Advisor di Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG), menuturkan tak mudah bagi Indonesia untuk meniru gaya China, yang mematok Yuan pada level tertentu, karena membutuhkan cadangan devisa yang melimpah untuk diguyurkan ke pasar.

Intervensi Bank Indonesi (BI), kata Anton, akan sangat tergantung kondisi pasar dan kapasitas cadangan devisa. Dari sisi nominal, cadangan devisa BI harus memperhitungkan kebutuhan biaya untuk impor dan membayar utang jatuh tempo pemerintah.  "Jadi intervensi BI sangat tergantung keadaan di pasar. Jangan sampai BI menarik dolar seperti Malaysia. Cadangan devisa Malaysia itu turun dari US$ 140 miliar menjadi US$ 88 miliar dan habis percuma," jelasnya .

Gejolak nilai tukar yang mengglobal, lanjut Anton, tampaknya mulai menggoyahkan Pemerintah China dalam mempertahankan rezim kurs tetap, yang ditandai dengan devaluasi yuan baru-baru ini.  Langkah otoritas China ini, dinilai Anton terkait dengan tawaran bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dengan sejumlah syarat, yang salah satunya adalah meliberalisasi pasar.

"Hal itu direspons oleh China dengan mengubah sistem kurs, dari yang tadinya fixed menjadi more market," tuturnya.

No comments:

Post a Comment