Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengakui kebocoran potensi penerimaan negara terbesar dari Pajak Penghasilan (PPN), dengan modus praktik penerbitan dan penggunaan faktur pajak fiktif. Faktur pajak diterbitkan perusahaan kena pajak (PKP) yang menjual barang atau jasa yang kemudian harus memungut PPN sebesar 10% saat transaksi.
Kepala Bagian Pemeriksaan, Penagihan, Intelejen, dan Penyelidikan Pajak Ditjen Pajak Kanwil Jakarta Selatan Agus Satria mengungkapkan, saat ini ada 2 modus yang paling sering dipakai oleh pengemplang pajak dalam penyalahgunaan faktur pajak. Modus pertama, kata Agus, adalah modus switching atau pengalihan penagihan pajak. PKP menerbitkan faktur PPN tanpa didasarkan kegiatan/transaksi yang sebenarnya.
"Ketika ada transaksi yang dilakukan PKP, tapi kemudian dia tidak terbitkan faktur pajak, ada oknum di dalam perusahaan yang kemudian menjual faktur pajak yang tidak terbit tadi ke perusahaan lain yang dipakai untuk mengurangi PPN perusahaan lain itu, seolah kedua perusahaan bertransaksi, padahal keduanya tidak melakukan transaksi," kata Agus di kantor pusat Dirjen Pajak, Jalan Gatot Subroto.
Modus ini kerap dilakukan oleh perusahaan yang bertindak sebagai importir yang menjual barang pada perusahaan lain, namun tidak menerbitkan faktur pajak. "Faktur pajak yang tidak terbit ini kemudian dijual pada perusahaan lain untuk dipakai untuk mengurangi PPN mereka," jelasnya.
Sementara modus kedua, pengemplang pajak akan menggunakan jasa perusahaan-perusahaan PKP fiktif yang sengaja dibentuk. Perusahaan fiktif ini kemudian menerbitkan faktur pajak palsu yang dijual untuk dipakai sebagai faktur pajak masukan oleh perusahaan pemakai jasanya
"Fakturnya ada (terbit), tapi transaksinya tidak ada. Faktur ini kan bisa dipakai sebagai pajak masukan oleh perusahaan lain untuk kurangi pajak keluaran yang disetor ke negara," terang Agus. Agus menjelaskan, perusahaan fiktif tersebut biasanya langsung ditutup begitu Ditjen Pajak mengendus faktur dengan transaksi fiktif yang mereka lakukan.
"Buat perusahaan PKP gampang, mereka biasanya buka iklan lowongan kerja di koran, dari situ banyak lamaran yang masuk, KTP para pelamar ini mereka yang pakai seolah-olah itu direksi dan karyawan mereka," ujar Agus. Dalam skema penarikan PPN, perusahaan yang terdaftar sebagai PKP mengeluarkan faktur untuk setiap penjualan barang dan jasa sebagai pajak keluaran.
Pajak keluaran ini kemudian dianggap sebagai pajak masukan bagi perusahan lain yang membeli barang jasa dari perusahaan penerbit faktur. Ketika perusahaan tersebut menjual kembali barang jasa ke perusahaan ketiga, perusahaan kedua kemudian mengenakan pajak yang disebut sebagai pajak keluaran. Jumlah pajak keluaran dikurangi pajak masukan inilah yang harus disetorkan ke kas negara.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak kembali menangkap pembuat faktur pajak fiktif berinisial SH. Atas tindakan wajib pajak tersebut negara diperkirakan mengalami kerugian Rp 16,2 miliar. Terbongkarnya kasus tersebut berdasarkan pengembangan kasus sebelumnya dengan tersangka MK dari direksi PT MSL. MK sendiri telah divonis bersalah di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, serta denda sebesar Rp 44 miliar atau subsider kurungan 3 bulan.
Faktur Pajak sendiri adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) atau penyerahan jasa kena pajak (JKP). "Modus operandi dilakukan pada kurun waktu 2010-2012 oleh tersangka dengan menggunakan faktur Pajak Pertambahan Nilai (pajak masukan) dari pihak ketiga dengan transaksi fiktif," jelas Ditjen Pajak dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/8/2015).
Tersangka baru SH sendiri saat ini sudah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk pelimpahan kasusnya. Kecurangan dalam faktur fiktif tersebut membuat negara dirugikan sebesar Rp 16,2 miliar. Sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan, tersangka SH terancam pidana penjara paling sedikit 2 tahun dan paling lama 6 tahun, dengan denda paling sedikit 2 kali dan paling banyak 6 kali jumlah pajak dalam faktur pajak.
No comments:
Post a Comment