Bank Indonesia (BI) menyatakan bakal menjalankan kesepakatan bilateral currency swap agreement (BCSA) dengan bank sentral dari tiga negara lain untuk meredam keperkasaan dolar. Langkah ini akan diambil BI apabila tujuh kebijakan moneter yang telah dan akan dilakukannya tidak juga mampu memperkuat nilai tukar rupiah.
Gubernur BI Agus Martowardojo menyebut saat ini bank yang dipimpinnya telah memiliki kesepakatan BCSA dengan bank sentral China, Korea Selatan, dan Jepang. “Kami akan berkoordinasi kemungkinan menjalankan BCSA agar ketika bertransaksi kita tidak perlu menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat (AS). Tujuannya agar kita bisa berdagang dengan mata uang masing-masing negara itu,” kata Agus di Istana Bogor, Senin (24/8).
BI terakhir kali meneken kesepakatan BCSA dengan bank sentral Korea Selatan pada 6 Maret 2014 lalu. Perjanjian tersebut memungkinkan swap mata uang lokal antara kedua bank sentral senilai 10,7 triliun won atau setara Rp 115 triliun dan berlaku efektif selama tiga tahun yang dapat diperpanjang atas kesepakatan kedua bank.
Ketika meneken kesepakatan tersebut tahun lalu, Agus menuturkan salah satu latar belakang dibuatnya kesepakatan tersebut lantaran banyak perusahaan Indonesia pada 2013 lalu mengalami kerugian karena nilai tukar karena terlalu sering bertransaksi menggunakan dolar.
Sementara kesepakatan BCSA dengan bank sentral China dibuat pada 2010, di mana salah satu dasar hukum dilakukan perjanjian kerjasama tersebut adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 12/6/PBI/2010 tentang Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan Terhadap Surat Berharga Rupiah Bank Kepada Bank Indonesia.
Terkait kondisi moneter Indonesia saat ini, Agus menyatakan ada beberapa perbedaan yang sangat mencolok dibandingkan dengan kondisi krisis moneter pada 1998 lalu. Dari sisi cadangan devisa, Agus mengatakan sampai akhir Juli 2015 kemarin BI masih mengelola US$ 107 miliar. Angka yang menurutnya cukup untuk membiayai impor selama tujuh bulan ke depan.
“Cadangan devisa kita jauh lebih tinggi dibandingkan 1998 dan 2008. Selain itu volatilitas nilai tukar lebih terkendali dan inflasi yang pada 1998 lalu bisa naik sampai 60 persen, sekarang ini di bawah 4,5 persen. Artinya secara umum kondisi fundamental lebih baik,” kata Agus.
Terkait masih tingginya harga dolar, Agus memastikan pendorong utamanya adalah faktor eksternal yang berada di luar kendali BI maupun pemerintah. “Di Amerika Serikat ada perbaikan ekonomi, dan ada rencana menaikkan suku bunga. Sementara China memang sedang terkoreksi ekonominya, lalu ada harga komoditas turun dan ini berdampak pada negara-negara di dunia,” tegasnya.
Sepanjang tahun ini, BI telah melakukan berbagai upaya untuk menekan dolar. Salah satunya pada Maret 2015 menerbitkan aturan wajib transaksi menggunakan rupiah di seluruh wilayah Indonesia yang berlaku efektif sejak Juli kemarin. Belakangan ini, BI juga memperketat transaksi valuta asing terutama dolar dengan membatasi pembelian dolar tanpa tujuan penggunaan sebanyak US$ 25 ribu per bulan. Sebelumnya, masyarakat dibebaskan mengumpulkan dolar sampai US$ 100 ribu per bulan meskipun tidak akan digunakan.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan pembatasan ini dilakukan untuk menjaga stabilitas kurs dan mencegah spekulan. "BI tidak melarang pembelian valas, tapi untuk menjaga stabilitas kurs, pembelian valas harus ada dasarnya yaitu untuk kegiatan transaksi ekonomi, bukan spekulasi atau melakukan penumpukan," kata Mirza pekan lalu.
Dengan adanya aturan baru ini maka pembelian mata uang negara Barrack Obama di atas US$ 25 ribu harus dibuktikan dengan dokumen underlying transactions dan nomor pokok wajib pajak (NPWP).
No comments:
Post a Comment