Penurunan penjualan industri otomotif di tanah air berdampak pada kinerja keuangan PT Goodyear Indonesia Tbk. Sepanjang paruh pertama tahun ini, Goodyear mencatatkan kerugian tahun berjalan sebesar US$ 353,76 ribu. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya Goodyear masih bisa membukukan laba sebesar US$ 279,64 ribu.
Meskipun nilai penjualan ban Goodyear di semester I 2015 sebesar US$ 79,25 juta tercatat hampir sama dengan periode yang sama tahun lalu yaitu sebesar US$ 79,24 juta, namun besarnya biaya produksi yang harus ditanggung produsen ban asal Amerika Serikat akibat banyak menggunakan bahan baku impor ditengah depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar diyakini menjadi penyebab kerugian perusahaan.
Namun menyikapi kondisi tersebut, manajemen Goodyear mengaku belum melakukan strategi khusus selain yang telah dicantumkan dalam rencana bisnis di awal tahun. Manajemen juga menyatakan belum menaikkan harga produk untuk memperbaiki rapor merah semester I 2015.
“Kami belum akan melakukan penyesuaiaan harga secara menyeluruh untuk jangka pendek atau menengah,” kata Direktur Pemasaran dan Penjualan Goodyear Indonesia Yedi Sondy di Jakarta, Kamis (27/8). Menurutnya manajemen akan tetap fokus menawarkan produk-produk berkualitas, memperkuat jaringan maupun channel distribusi produk, serta mengembangkan basis pelanggan dengan cara memberikan pelayanan yang prima.
“Tiga faktor utama tersebut akan membantu merecover kalau misalnya ada goncangan-goncangan yang terjadi terutama dalam short term ini,” kata Yedi. Strategi tersebut diharapkan bisa memperbaiki kinerja Goodyear hingga akhir tahun dan target penjualan masih bisa tercapai.
Ketua Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) Aziz Pane sebelumnya memperkirakan sepanjang tahun ini penjualan ban di dalam negeri hanya akan menyentuh angka 8 juta-8,5 juta unit. Turun dibandingkan penjualan 2014 yang mencapai 9 juta unit. Tidak hanya penurunan penjualan di dalam negeri, Aziz juga mengkhawatirkan penurunan penjualan ban untuk pasar ekspor. Jika pada periode 2011-2014 rata-rata ekspor ban bisa mencapai 35 juta-45 juta unit per tahun maka tahun ini ia memperkirakan angka ekspor ban hanya akan menyentuh 30 juta unit.
“Semester II makin worst kondisinya karena harapan pertumbuhan ekonomi belum kunjung membaik di dalam dan luar negeri, uncertainty juga meningkat. Selain itu sebagian besar bahan baku industri ini masih diimpor,” tutur Ketua APBI Aziz Pane.
Lebih lanjut, Aziz menilai kondisi industri sekarang menguntungkan bagi bisnis vulkanisir ban yang didominasi oleh pengusaha industri kecil dan menengah. Alih-alih membeli ban baru, pelanggan banyak yang beralih merekondisi ban kembali atau membeli ban rekondisi karena biayanya lebih murah dibandingkan ban baru.
“Harga ban vulkanisir jauh lebih murah dibandingkan beli produk baru. Untuk ban vulkanisir yang melalui proses cold harganya bisa 70- 80 persen di bawah harga jual produk baru,” kata Aziz. Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) memperkirakan permintaan ban di semester II belum akan menunjukkan peningkatan. Pasalnya, kondisi industri otomotif dan komoditas masih lesu yang diperparah dengan belum terangkatnya daya beli masyarakat.
“Semester II makin worse kondisinya karena harapan pertumbuhan ekonomi belum kunjung membaik di dalam dan luar negeri, uncertainty juga meningkat,” tutur Ketua APBI Aziz Pane saat dihubungi. Aziz mengungkapkan penurunan permintaan ban di dalam negeri sudah mulai terasa sejak 2013 yang tercatat 10 juta unit. Kemudian pada 2014 permintaannya turun menjadi sekitar 9 jutaan.
“Tahun ini perkiraan permintaan ban itu sekitar 8 juta–8,5 juta unit. Kondisi puncaknya itu pada 2011 yang permintaannya hampir 11,4 juta unit,” tutur Aziz. Sementara itu, dampak pelemahan nilai tukar rupiah dirasa tidak akan berpengaruh terhadap permintaan ban di pasar luar negeri yang disebutnya juga mengalami penurunan.
Aziz mencatat, pada 2011 hingga 2014 ekspor ban bisa mencapai 35 juta–45 juta unit. Namun tahun ini diperkirakan hanya bisa di angka 30 juta unit. Sementara di sisi lain, sebagian besar bahan baku produksi ban di dalam negeri masih harus diimpor. “Dampak pelemahan nilai tukar tidak begitu besar ke industri. Meskipun kami ada ekspor tapi bahan baku kami sebagian besar juga impor. Pelemahan nilai tukar hanya menguntungkan untuk industri yang komponen impornya sedikit,” ujarnya.
Aziz memperkirakan industri ban akan mulai bangkit pada kuartal terakhir 2016 seiring dengan perbaikan ekonomi dan kinerja industri otomotif.
No comments:
Post a Comment