Tuesday, August 25, 2015

Omzet UKM Turun 15 Persen Terkena Imbas Pelemahan Rupiah

Kondisi perlambatan ekonomi dan penguatan dolar AS yang mencapai Rp 14.000, berimbas pada turunnya omzet atau pendapatan sektor usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia. Sebanyak 56,7 juta UKM yang ada di Indonesia mengalami penurunan omzet hingga 15%.  Hal ini disampaikan Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi RI, Braman Setyo, di sela pembukaan Temu Mitra UMK Naik Kelas, di gedung Celebes Convention Center, Makassar, Rabu (26/8/2015).

"Terjadi penurunan pendapatan sekitar 15 persen dari total jumlah UKM sebanyak 56,7 juta se-Indonesia. Hal ini dipengaruhi mahalnya bahan baku dari impor, seperti pengusaha Tempe yang mengimpor kedelai dari Amerika," ujar Braman. Braman menambahkan, target Kemenkop setiap tahunnya melahirkan sekitar 200 ribu UKM di Indonesia. Namun, hal ini seringkali terbentur persoalan permodalan, lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar, serta terbatasnya sarana dan prasarana usaha.

"UKM harus di-maintain (dikelola), harus didampingi terus oleh pemerintah, harus ada ada fasilitas kemudahan kredit, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), bunga ringan dan penjaminan kredit, pemerintah wajib menyubsidi UKM," tutur Braman. Pengusaha meminta pemerintah cekatan menyelesaikan kondisi perlambatan ekonomi dan penguatan dolar AS yang saat ini ‎mencapai Rp 14.000. 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menilai di tengah situasi ekonomi yang bergejolak ini, pemerintah tak boleh menerapkan kebijakan ekonomi yang kontradiktif. Hariyadi mencoba membandingkannya di negara-negara lain, seperti China, di saat ekonominya tengah melambat, pemerintahnya segera menerbitkan stimulus.

"Memang kalau di kita ini, cara berpikirnya agak kontrakdiktif. Misalnya kalau negara yang sedang mengalami situasi seperti ini mereka akan mengeluarkan stimulus. Kebijakan itu buat relaksasi. Menurut saya ya, kita nggak mencerminkan itu," kata Hariyadi .

Dia mencontohkan salah satunya adalah target pajak yang dinilai pengusaha sebagai target ambisius dan memberatkan. "Target pajak naik 38%. Harus dilihat dulu, jangan menaruh target yang kita tidak bisa capai. Yang jadi sasaran ini sektor riil. Dalam situasi begini kami ditekan-tekan melulu," tambahnya.

Selain pemerintah, Hariyadi juga meminta Bank Indonesia (BI) tidak mengubah suku bunga acuannya yaitu BI Rate. "Moneter itu sebaiknya BI jangan mengutak-atik BI Rate-nya. Kalau nanti dinaikkan, itu yang kena akan sektor riil kita. Kalau diturunkan dari 7,5% masyarakat akan berpikir, ada tendensi dolar itu akan menguat. Moneter menurut saya stabilisasinya tetap harus dikedepankan," katanya.

Selain itu, sebagai salah satu langkah strategis memperbaiki perlambatan ekonomi, pengusaha berharap pemerintah mengakselerasi belanja, terutama di sektor infrastruktur.  "Eksekusi belanja pemerintah, dana yang idle (menganggur) di BPD (Bank Pembangunan Daerah) bisa dipakai," katanya.

Kemudian, lanjut Hariyadi, industri substitusi impor harus segera dikembangkan dan diperbanyak agar saat dolar menguat, ekonomi dalam negeri tak terlalu berdampak seperti sekarang ini.  "Perbesar substitusi impor, semaksimal mungkin," tutupnya.

No comments:

Post a Comment