Gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat kian memusingkan pengusaha. Pengusaha khawatir jika gejolak tak juga reda, bisnis mereka berpotensi rugi bahkan gulung tikar. Seperti kita tahu, perdagangan rupiah di pasar valas yang dicatat oleh Kurs Tengah Bank Indonesia sebesar Rp 13.998 per dollar AS. Sementara di pasar spot, Senin (24/8) pukul 19.05 WIB mencatat rupiah menembus Rp 14.050 per dollar AS.
"Kalau dolar terus anjlok di Rp 14.500, kami sudah sulit sekali bertahan. Kalau sudah Rp 15.000 kami bisa kolaps," kata Fajar Budiono, Sekretaris Jenderal Industri Aromatik, Olefin dan Plastik Indonesia (Inaplas).
Efek tekanan rupiah ini sangat berat bagi industri kimia, lantaran. Pertama, di sisi permintaan pasar, saat ini terus menyusut lantaran daya beli masyarakat juga lemah. Seperti kita tahu, industri kimia khususnya plastik kemasan, berhubungan langsung dengan industri consumer goods seperti makanan dan minuman. Jika permintaan industri ini turun, maka permintaan kemasan plastik juga ikut turun.
Kedua, bahan baku berbasis impor, sehingga berpotensi mengerek ongkos produksi yang harus di keluarkan industri ini. Untung dari sisi suplai ini harga minyak mentah sebagai bahan baku industri kimia tengah mengalami penurunan, yakni di kisaran US$ 40 per barel.
Meski saat ini kondisi bisnis tengah sulit, Fajar menegaskan hingga kini belum ada perusahaan yang memutuskan hubungan kerja dengan karyawan. "Utilitas masih kami jaga di 80%, jadi banyak stok menumpuk di gudang. Karena kami optimistis kondisi akan membaik, dan barang akan banyak terserap di akhir tahun," ujar Fajar.
Tekanan rupiah juga memberatkan industri tekstil. Sekretaris jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy menerangkan, saat ini industri tekstil mulai kesulitan lantaran bahan baku industri tekstil di Indonesia mayoritas masih impor. Padahal mereka harus menjual produk di dalam negeri memakai harga rupiah. Kondisi ini jelas menyulitkan saat nilai tukar rupiah terus melemah.
Meskipun industri tengah dirundung masa sulit, Ernovian tidak bisa memastikan berapa lama produsen tekstil lokal ini masih bisa bertahan di gejolak. "Beban biaya bahan baku semakin tinggi secara otomatis akan mengerek harga jual produk tekstil menjadi semakin mahal," ungkapnya. Ketua API, Ade Sudrajat menambahkan sekitar 80% bahan baku tekstil masih diimpor sehingga industri ini sulit bersaing. Misalnya bahan pembuatan serat kapas hanya diproduksi di Eropa, begitu juga bahan baku garmen.
Ade menyebut, efek pelemahan rupiah tidak hanya berimbas mengerek harga jual produk tekstil, tapi berefek terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK). "Sudah ada 36.000 tenaga kerja yang kena PHK," ungkap Ade. Meski begitu, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan berharap kondisi ini bisa menjadi momentum bagi investor asing untuk merealisasikan investasinya di Indonesia. Karena secara kurs saat ini lagi murah," ujar Putu.
Semoga investor yang datang bukan spesialis pencaplok perusahaan sakit. Pelemahan rupiah terhadap mata uang Paman Sam membuat industri tekstil ketar-ketir. Banyak pabrik yang terpaksa gulung tikar dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menjelaskan, pelemahan rupiah membuat pembelian bahan baku menjadi lebih mahal. Padahal, sebagian besar sampai 80% bahan baku tekstil harus diimpor. Jika begitu, produsen tekstil dalam negeri terpaksa mengerek harga jual di tengah pelemahan daya beli masyarakat Indonesia.
Ade bilang, efek dari penguatan dollar tersebut membuat beberapa produsen tekstil gulung tikar. PHK yang terjadi pun sampai puluhan ribu karyawan. "36.000 karyawan sudah di PHK," ungkap Ade kepada KONTAN, Senin (24/8). Ade bilang, PHK telah terjadi dari Desember 2014 hingga Agustus 2015.
Melihat pasar spot, rupiah kemarin diperdagangkan di level Rp 14.050. Jika akhir tahun lalu posisi rupiah Rp 12.388 per dollar AS, kemerosotan mata uang Garuda di tahun berjalan ini sudah 13%.
No comments:
Post a Comment