Monday, August 24, 2015

Perbedaan dan Persamaan Pelemahan Rupiah Dengan Krisis Ekonomi 1998

Indeks Harga Saham Gabungan dan nilai tukar tukar rupiah terus menunjukkan pelemahan.  Pada penutupan perdagangan Senin, 24 Agustus 2015, IHSG turun tajam 172,22 poin (3,97 persen) ke level 4.163,73. IHSG yang sejak awal perdagangan sudah dibuka di teritori negatif, bahkan sempat menyentuh posisi terendah di level 4.111,11. Sedangkan nilai tukar rupiah, rupiah turun 108,2 poin (0,78 persen) ke level 14.049,5 per dolar Amerika Serikat.

Apakah dengan rupiah yang terus melemah ini Indonesia sudah memasuki masa krisis? Ketua Pusat Studi Ekonomi Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono menegaskan Indonesia belum memasuki tahap resesi ekonomi. Kondisi ini terlihat dari masih baiknya fundamental ekonomi. Inflasi tahun ini juga terjaga baik dengan proyeksi maksimal 5 persen.

Kondisi perekonomian sekarang, menurut Tony, berbeda dengan saat krisis pada 1998. Saat itu inflasi sampai 78 persen akibat ketidakpercayaan pada rupiah.  “Meski kredit melemah, perbankan masih cuku psehat dan membukukan laba sehingga masih bisa mendorong kredit,” kata Tony saat dihubungi, Senin, 24 Agustus 2015.

Tony menambahkan anjloknya IHSG dan rupiah adalah akibat kepanikan pasar. Kepanikan ini membuat pasar memburu dolar Amerika Serikat yang membuat hampir semua mata uang dunia melemah tanpa batas.  Namun, Tony memprediksi kondisi saat ini sifatnya sementara. Soalnya kondisi fundamental Indonesia sebenarnya tidak sejelek yang terefleksikan pada kurs rupiah saat ini.

“Dalam jangka menengah, seharusnya rupiah akan menguat sesuai fundamental,” ujar Tony.  Tony mengatakan tak banyak yang bisa dilakukan pemerintah dalam situasi panik. “Sulit menempuh kebijakan yang biasa, karena yang dihadapi adalah orang panik dan low confidence,” kata dia.

Untuk menenangkan pasar, yang paling bisa dilakukan adalah Presiden Joko Widodo perlu mengumumkan bahwa pemerintah akan memangkas atau mempertajam prioritas proyek-proyek yang haus devisa. Melemahnya sejumlah pasar modal di Asia ikut berdampak terhadap Bursa Efek Indonesia. Pada penutupan perdagangan Senin, 24 Agustus 2015, Indeks Harga Saham Gabungan melemah 3,97 persen atau 172,224 poin dan berada di level 4.163,729.

Analis Lucky Bayu Purnomo menilai kekhawatiran kenaikan suku bunga The Fed Amerika Serikat masih menjadi sentimen negatif bagi pasar modal di Asia.  "Selain itu, kinerja ekonomi di Asia dianggap tidak menarik," kata analis dari LBP Enterprises itu. Ditambah lagi, dengan makin terpuruknya harga minyak dunia.

Walhasil, investor melakukan aksi jual yang cukup masif kemarin pagi. Lucky memprediksi ada sekitar Rp 3 triliun modal yang keluar dari bursa saham Indonesia.  Besarnya capital outflow itu, menurut Lucky, dilihat dari obligasi yang disiapkan oleh pemerintah. "Sejak Januari hingga Juli diprediksi ada Rp 5 triliun modal yang keluar," ucapnya.

Ia memprediksi pasar modal domestik akan terus diuji. Saat ini posisi IHSG belum menyentuh dasarnya. Lucky memprediksi pergerakan IHSG akan diuji di level terdekat 4.000. Sedangkan rupiah bakal diuji di kisaran 14.100 per dolar Amerika Serikat.

Upaya Otoritas Jasa Keuangan yang membuka keran pembelian saham kembali (buy back) dipandang Lucky kurang tepat. Namun, jika ada emiten yang memilih buy back, ia memperkirakan perusahaan sektor infrastruktur yang akan melakukannya. Alasannya, karena pemerintah sedang mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengerjakan proyek infrastruktur.

No comments:

Post a Comment