Di tengah rencana pembubaran (likuidasi) Pertamina Energy Service (PES) yang saat ini dalam tahapan audit investigasi terungkap sejumlah fakta baru. Salah satunya hasil temuan panitia kerja (Panja) Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyatakan anak usaha Pertamina Energy Trading Limited (Petral) tersebut memiliki piutang sebesar US$ 50 juta ke beberapa perusahaan mitra kerjanya.
Anggota Panja Inas Nasrullah mengatakan temuan tersebut diperoleh usai timnya mengadakan inspeksi ke kantor pusat PES di Singapura beberapa waktu lalu. "Kebanyakan perusahaan yang berutang itu NOC (National Oil Company) seperti CNOOC, Petronas, dan lain-lain. Tapi tunggakan tadi sebenarnya akibat kesalahan perusahaan trader yang selama ini memasok NOC. Jadi lah NOC yang 'ketibanan'," ujar Inas saat ditemui di gedung DPR, Senin (24/8).
Inas menjelaskan, piutang PES sebesar US$ 50 juta berasal dari belum dibayarkannya denda keterlambatan atas pasokan minyak, keterlambatan pengembalian container milik pelayaran ataudemurrage, serta tunggakan-tunggakan NOC atas beberapa kewajiban lain dalam hal pengadaan minyak oleh pemasok. Berangkat dari hal itu, Inas pun berharap manajemen Pertamina bisa menimbang masak-masak tentang rencana pembubaran PES. Agar piutang tadi tidak hilang begitu saja.
"Kalau usul saya, harusnya PES tidak dibubarkan melainkan tetap dipertahankan sebagai trading arm Pertamina karena pada dasarnya perusahaan ini memiliki pengalaman dan bisnis di bidang penyewaan kilang dan third party yang prospektif. Tapi kita harus sepakati bahwa wewenang pengadaan minyak harus tetap dipindah ISC," jelasnya.
Sebelumnya Dwi Wahyu Daryoto, Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) PT Pertamina (Persero) menegaskan bahwa pihaknya tak menutup kemungkinan akan mempertahankan PES atau bahkan membentuk perusahaan trading arm baru sebagai pengganti PES. Akan tetapi, ia belum mau membeberkan secara rinci mengenai dua rencana ini. "Lihat nanti saja. Khan sekarang masih proses," ujar Dwi Daryoto beberapa waktu lalu.
Saat disinggung mengenai adanya piutang sebesar US$ 50 juta dari beberapa NOC, Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro juga masih enggan mengungkapkan secara rinci perihal temuan panja. "Untuk hasil audit tentunya harus menunggu proses auditnya selesai," ujarnya. PT Pertamina (Persero) memulai audit forensik terhadap Pertamina Energy Trading Limited (Petral) dan dua anak usahanya Pertamina Energy Service (PES) dan Zambesi Investment Limited (ZI) sejak 29 Juni 2015.
Kegiatan yang merupakan bagian dari proses likuidasi ini dilakuan Pertamina dengan menggandeng beberapa auditor independen, antara lain Kordamentha, perusahaan forensik keuangan yang berpusat di Australia. Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina menjelaskan audit hanya dilakukan untuk kegiatan pengadaan minyak dan laporan keuangan mulai dari 2012 hingga 2014."Kita lakukan bertahap. Untuk tenor audit kami sesuaikan dengan kebutuhan yang ada," ujar Wianda .
Sebagai informasi, audit ini terkait dengan upaya melikuidasi Pertal dan dua anak usahanya, yang merupakan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya hanya menginginkan audit forensik dan bukan audit investigasi seperti yang didorong Tim Reformasi.
Disamping itu, Pertamina selaku induk usaha Petral pun urung melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku lembaga negara yang berwenang menentukan ada atau tidaknya kerugian negara dalam pengadaan minyak oleh Petral dan PES. "Untuk BPK tentunya terbuka opsi untuk mengundang sesuai perkembangan yang ada," tutur Wianda.
Pada kesempatan berbeda, pengamat kebijakan energi Yusri Usman menilai Pertamina tak serius melakukan audit terhadap kegiatan pengadaan minyak dan catatan keuangan Petral. Karenanya, ia mendesak manajemen Pertamina segera melakukan kajian dan audit yang mendalam terhadap Petral, PES dan ZI mulai dari awal kegiatan impor minyak.
"Audit forensik ini aneh karena hanya difokuskan pada kegiatan selama 2012 sampai 2014. Kalau ingin membuktikan adanya mafia migas, harusnya audit dilakukan mulai dari (pencatatan) 2004 ketika PES berubah fungsi menjadi pengimpor, bukan lagi pengekspor minyak. Dan yang lebih aneh lagi mengapa BPK tidak dilibatkan disini," katanya.
No comments:
Post a Comment