Monday, August 31, 2015

Bank Indonesia Ingin Indonesia Tinggalkan Dolar Karena Semakin Naik Tak Terkendali

Di tengah penguatan dolar AS yang mencapai Rp 14.000, Indonesia harus perlahan meninggalkan mata uang negeri paman sam itu. Dalam perdagangan ekspor-impor, Indonesia bisa mulai mengurangi pemakaian dolar AS. "Makanya perdagangan antar negara Asia, misalnya Indonesia dengan Jepang bisa dibayar dengan yen. Itu akan bantu, iya kan. Maka kalau impor dari Jepang bisa pakai yen," ungkap Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (31/8/2015).

Bila ini dilakukan, lanjut Mirza, tekanan pelemahan rupiah ke perekonomian dalam negeri bisa berkurang. "Jadi memang effort (usaha) jangka menengah panjang adalah ‎mendiversifikasi pembayaran perdagangan tidak pada dolar saja, pasti akan lebih baik," kata Mirza. Selain itu juga, dalam perdagangan dengan China, Indonesia juga bisa menggunakan yuan sebagai alat pembayaran.

"Usaha itu harus dilakukan bersama. Jadi ya pembelinya harus bisa menempatkan yuannya. Terus terang dapatkan yen lebih gampang daripada renminbi (yuan). Kan renminbi belum fully comfortable dibandingkan yen," tukasnya. Seperti diketahui, Indonesia memiliki perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) yang digunakan untuk meningkatkan kerjasama perdagangan bilateral dan memperkuat kerjasama keuangan antara kedua negara, serta mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan dolar AS.

Saat ini BI telah memiliki BCSA dengan China dan Korea. Nilai kerja sama dengan Korea: KRW (won) 10,7 triliun atau Rp 115 triliun (ekuivalen US$ 10 miliar), sementara dengan Bank Sentral China (PBoC) adalah CNY (yuan) 100 miliar atau setara Rp 175 triliun.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Emil Salim, meminta semua pihak untuk menghemat pengeluaran yang menggunakan dolar Amerika Serikat (AS), bahkan bila perlu hentikan sementara apabila tidak punya urgensi tinggi. Langkah ini perlu dilakukan untuk menghindarkan Indonesia dari krisis ekonomi yang parah seperti 1998.

"Kita harus hemat. Ini tidak perlu dicemaskan karena krisis bisa diatasi. Untuk itu harus ada prihatin, prihatin menggunakan dolar karena dolar ini sedang gonjang-ganjing. Kita harus hemat dolar," ucap Emil usai Seminar Perekonomian Indonesia dari Masa ke Masa di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (31/8/2015).

Sebagai langkah penyelamatan terhadap rupiah, yang saat ini dolar AS sudah Rp 14.000, menteri di era pemerintahan Presiden Soeharto ini meminta pemerintah melakukan moratorium atas proyek-proyek yang dibiayai dengan dolar AS, terutama proyek yang tidak mendesak dibutuhkan rakyat, misalnya kereta cepat. "Karena yang dikhawatirkan dolar outflow, maka kita harus mendorong agar proyek-proyek pemerintah jangan mendorong dolar outflow. Artinya, jangan ada pembangunan yang justru banyak memakan dolar," tandasnya.

Pembangunan gedung-gedung baru pun perlu dikurangi agar tidak menyedot devisa negara. "Semua pengeluaran yang tidak ada urgensinya tapi memakan dolar harus distop, dimoratorium. Sebanyak 25% daricost bangun gedung itu selalu ada dolar. Harus prihatin kita," Emil menegaskan.

Selain menghemat dolar, mantan Kepala Bappenas di era Orde Baru ini mengusulkan supaya pemerintah memberikan tax holiday tak hanya kepada industri-industri besar, tapi juga kepada industri-industri kecil di pedesaan. Dengan begitu, angka kemiskinan bisa ditekan, lapangan kerja bertambah, dan ada nilai tambah yang tercipta dari industri.

Langkah ini diyakininya bisa membuat ekonomi Indonesia tetap tumbuh tinggi di tengah gejolak perekonomian global.  "Usul saya, industri basis desa, ada industri keramik dan sebagainya, diberi tax holiday agar tumbuh seperti halnya perusahaan besar. Jadi jangan prioritas ke yang besar-besar saja," tutupnya.

No comments:

Post a Comment