Wednesday, December 10, 2014

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Masih Ditopang Konsumsi Rumah Tangga Karyawan

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyatakan produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga. Menurut dia, konsumsi rumah tangga pada Januari-September 2014 mencapai Rp 4.182,5 triliun atau 55,7 persen dari PDB.  "PDB masih didorong oleh konsumsi," katanya dalam seminar Economic Outlook di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu, 10 Desember 2014.

Selain itu, kata Rachmat, konsumsi pemerintah mencapai Rp 603,7 triliun atau 8 persen dari PDB. Di sektor produktif, Rachmat mengatakan PDB ditopang oleh investasi dalam berbagai sektor industr. Pada Januari-September 2014, investasi mencapai Rp 2.339,7 atau 31 persen dari PDB.

Secara keseluruhan, PDB Indonesia pada Januari-September 2014 mencapai Rp 7.507,7 triliun. Angka tersebut naik 5,1 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Namun pertumbuhan PDB tersebut masih di atas tingkat inflasi. Sebab, pada Oktober 2014 tingkat inflasi 0,47 persen, sehingga tingkat inflasi kalender (Januari-Oktober) 2014 besarnya 4,19 persen.

Wakil Presiden Jusuf Kalla optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia minimal mencapai 5,5 persen dalam beberapa tahun mendatang. Hal ini terjadi lantaran Indonesia memiliki potensi menarik investasi dan sumber daya yang bisa menopang pertumbuhan. "Kita masih tumbuh 5,5 persen di tengah banyak badai," kata JK dalam acara Economic Outlook di Hotel Shangri-La, Rabu, 10 Desember 2014.

Menurut JK, saat ini hampir semua lembaga keuangan internasional menawarkan diri membantu Indonesia. Sebab, ujar JK, Indonesia adalah pasar yang potensial pada masa mendatang. "Pemerintah pun memiliki instrumen anggaran dan kebijakan yang tepat."

Menurut JK, tantangan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi saat ini adalah kemampuan anggaran serta tingginya beban subsidi dan beban operasional pemerintah. Dulu, tutur JK, pertumbuhan ekonomi bisa ditopang oleh ekspor komoditas, salah satunya batu bara yang harganya tinggi. Namun saat ini pemerintah harus mewujudkan keseimbangan pendapatan dan belanja untuk mendorong pertumbuhan. "Seperti mengatur subsidi dan efisiensi belanja negara yang kurang penting."

Tantangan untuk mewujudkan target pertumbuhan ekonomi juga pernah dipaparkan Bank Dunia melalui laporan triwulanan yang dirilis awal pekan kedua Desember 2014. Dalam paparannya, Ekonom Utama Bank Dunia, Ndiame Diop, mengatakan dua tantangan utama yang dihadapi Indonesia yaitu penyerapan belanja modal yang masih jauh dari harapan serta penurunan defisit neraca transaksi berjalan.

Sampai akhir Oktober 2014, realisasi belanja modal hanya sekitar 38 persen dari pagu dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sedangkan defisit neraca transaksi berjalan baru mencapai 3,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada akhir triwulan ketiga 2014. "Penurunan secara bertahap defisit transaksi berjalan diperkirakan terus berlangsung dan bisa mencapai angka 2,8 persen dari PDB pada 2015," kata Diop.

Diop menuturkan Indonesia saat ini mempunyai kesempatan memperbaiki layanan publik setelah memiliki ruang fiskal Rp 100 triliun dari penyesuaian harga bahan bakar minyak bersubsidi. Menurut dia, alokasi anggaran yang baik, termasuk untuk pelayanan kesehatan dan program perlindungan sosial, dapat mempercepat upaya pemberantasan kemiskinan yang melambat. "Tanpa dukungan ini, tingkat kemiskinan yang saat ini 11,3 persen akan tetap berada di atas angka 8 persen pada 2018," ujarnya.

No comments:

Post a Comment