Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Fahmi Radhi, mengatakan akan mencari tahu komposisi kepemilikan saham Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yang menjadi trader atauperantara perdagangan minyak dan gas bumi.
Dulu, kata Fahmi, saham Petral sempat dimiliki oleh Amerika Serikat serta tokoh-tokoh masa Orde Baru seperti Tommy Soeharto dan Bob Hasan. "Kami ingin tahu, apakah kepemilikan saham Petral masih seperti dulu," kata Fahmi di Treva International Hotel, Selasa 9 Desember 2014..
Fahmi mengatakan, manajemen Pertamina sudah mengakui bahwa komposisi saham Petral sudah tidak seperti dulu. Sebab, kata dia, Pertamina kini menjadi pemilik tunggal saham Petral. "Sekarang, kami ingin tahu, berapa komposisi sahamnya?" ujar Fahmi.
Menurut Fahmi, penyelidikan atas kepemilikan saham Petral menjadi cara Stagas Anti-Mafia Migas untuk mengevaluasi perusahaan yang selama ini menjadi pengimpor minyak untuk Indonesia. Petral, kata Fahmi, adalah salah satu objek yang harus dievaluasi untuk memperbaiki tata kelola minyak dan gas nasional.
Melalui situsnya, manajemen Petral menyatakan sejak 1998 diakuisisi secara penuh oleh Pertamina. Di awal pendiriannya, Petral yang semula bernama Perta Group ini merupakan perusahaan patungan antara Pertamina kelompok bisnis Amerika Serikat.
Petral memiliki kantor pusat di Hong Kong, sementara untuk perdagangan minyak mentah, produk minyak, dan petrokimia digarap oleh anak usaha Petral, Pertamina Energy Services Pte Ltd. (PES) yang berkantor di Singapura. Investasi bisnis serta pengembangan bisnis nonminyak digarap oleh anak perusahaan Petral yang lain, Zambesi Investment Limited (Zil) yang berkantor di Hong Kong.
Tim Reformasi Tata Kelola Sektor Minyak dan Gas Bumi mengungkapkan tiga masalah pokok dalam tata kelola minyak dan gas bumi di PT Pertamina. Ketiga masalah itu adalah penentuan harga pokok penjualan bahan bakar minyak bersubsidi, peran Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) sebagai importir minyak nasional, serta inefisiensi kilang milik Pertamina. "Tiga masalah ini menjadi prioritas kami," kata anggota Tim Reformasi Fahmi Radhi, Selasa 9 Desember 2014.
Menurut Fahmi, mekanisme dan formula penentuan harga pokok penjualan BBM bersubsidi Pertamina selama ini rumit dan tak pernah terbuka. Sebabnya, ada beberapa variabel perhitungan yang hanya didasarkan pada asumsi. Kerumitan perhitungan ini membuat formula baku penentuan harga pokok BBM bersubsidi tak pernah diketahui publik.
Akibatnya, ketika harga BBM bersubsidi dinaikkan, selalu ada resistensi dari masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat. "Kami ingin ada formula yang lebih sederhana, mudah dimengerti, dan akan kami publikasikan.”
Mengenai Petral, Fahmi mengungkapkan ada indikasi harga minyak impor yang dibeli Petral lebih mahal daripada harga pasar. Penyebabnya, Petral tak membeli minyak dari national oil company, melainkan dari pedagang lain. Padahal logikanya, setiap pembelian melalui perusahaan trader pasti akan dibebani fee yang membuat harga menjadi lebih mahal
Soal inefisiensi kilang, kata Fahmi, terlihat dari tindakan Pertamina mengimpor minyak High Octane Mogas Component(HOMC) dengan research octane number (RON) 92 yang kemudian dicampur dengan hasil olahan minyak mentah Indonesia berupa Nafta RON 70 agar menjadi Premium RON 88. Pencampuran yang menimbulkan biaya baru ini tak perlu dilakukan jika kilang Pertamina efisien.
Juru bicara Pertamina Ali Mundakir menyatakan siap memberikan data dan informasi kepada Tim Reformasi. Namun, dia meminta Tim Reformasi tidak menyampaikan ke publik jika mendapati informasi yang janggal. Pertamina berharap Tim Reformasi meminta klarifikasi ke manajemen jika menganggap ada informasi kurang. "Jangan diwacanakan ke publik sampai lengkap, gitu lho," kata dia saat ditemui di kantornya.
Ali mengatakan pencampuran minyak RON 92 dengan RON 70. Ia menjelaskan, produksi kilang Pertamina saat ini baru mencapai RON 60 hingga 70 dan Nafta. Alasannya, ketika dibangun dulu kilang Pertamina didesain untuk memproduksi Premium, kerosin, dan solar. Untuk mengoptimalkan penggunaan Nafta, Pertamina mencampurnya HOMC RON 92.
Terkait peningkatan kualitas kilang, Pertamina hari ini dijadwalkan meneken kesepakatan peningkatan kualitas kilang minyak dengan Saudi Aramco (Arab Saudi), JX Nippon Oil and Energy Corporation (Jepang), Sinopec Limited (China), dan PTT Global Company Limited (Thailand). "Kilang kami rata-rata berusia di atas 30 tahun," kata Direktur Pemasaran dan Retail Pertamina, Ahmad Bambang.
No comments:
Post a Comment