Bank Indonesia (BI) memproyeksikan perekonomian Indonesia di tahun 2015 menghadapi tantangan baru, dengan perubahan lanskap ekonomi dunia dan domestik. Bahkan, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tujuh persen dalam lima tahun mendatang dinilai bukanlah hal yang mudah. "Tumbuh tujuh persen itu enggak gampang, karena harus sehat dulu isu strukturalnya," ucap Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Solikin M Juhro, Sabtu (13/12/2014).
Adapun isu struktural yang dimaksud yakni masih lemahnya sektor manufaktur dan infrastruktur, belum optimalnya ruang fiskal, serta basis pembiayaan yang belum sustainable. Dari sisi domestik, sejumlah proyek infrastruktur pemerintah diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun begitu, impor material infrastruktur juga akan berimbas pada defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Diperkirakan CAD masih susah beranjak menuju 2,5 persen.
"Dalam jangka pendek CAD belum bisa diturunkan. Raw materialdidatangkan dari luar ini. CAD akan naik sedikit, tapi mulai tahun ketiga, keempat, sudah mulai berubah," ucap Solikin. Sektor manufaktur diharapkan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, di tengah penurunan harga komoditas dunia. Untuk menguatkan sektor ini pun diperlukan bauran kebijakan yang komprehensif. "Tidak bisa hanya mengandalkan suku bunga," kata Solikin.
Pada tahun 2015, konsumsi domestik diprediksikan masih cukup kuat. Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi diperkirakan bakal berakhir pada tiga bulan setelah kenaikan harga.
Di sisi eksternal, perekonomian Indonesia pada 2015 masih sangat bergantung pada kondisi global. Amerika Serikat yang diprediksi menjadi single engine ekonomi dunia, diharapkan dapat mendorong permintaan. Begitu pula dengan negara emerging country seperti India. Sayangnya, Tiongkok yang menjadi mitra dagang utama Indonesia diperkirakan masih akan meneruskan perlambatan. Begitu pula dengan Jepang yang kemungkinan memasuki masa resesi ekonomi.
"Pasar potensial yang bisa dilirik juga sebenarnya adalah negara-negara di kawasan ASEAN yang sedang gencar-gencarnya membangun, seperti Filipina dan Vietnam," imbuh Solikin.
Dengan sejumlah indikator ekonomi domestik dan proyeksi kondisi global tersebut, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2015 di kisaran 5,4 - 5,8 persen. Sedangkan pada tahun 2014, pertumbuhan ekonomi diprediksi di level 5,1 persen.
Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur, Kementerian Perindustrian, Hardjanto menyatakan, untuk mengejar pertumbuhan ekonomi enam hingga tujuh persen, maka dibutuhkan pasokan gas mencapai 3.000 mmscfd (million standard cubic feet per day) pada 2025.
“Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sampai tujuh persen, industri harus tumbuh sembilan-sepuluh persen bahkan dobel digit. Untuk itu kebutuhan gas kita perkirakan mencapai 3.000 mmsfcd,” kata dia dalam seminar bertajuk “Revitalisasi Kebutuhan Gas untuk Industri”, Jakarta, Rabu (22/10/2014). Hardjanto lebih lanjut mengatakan, jika kebutuhan gas untuk industri terpenuhi, praktis industri dapat memberikan kontribusi lebih tinggi terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 30-40 persen.
Dengan kontribusi demikian besar, maka dia memperhitungkan,income per capita orang Indonesia mencapai 8.000-10.000 dollar AS, atau dua hingga tiga kali lipat dari saat ini.
Meloncat ke jasa
Hardjanto menilai, perkembangan industri saat ini lamban. Bahkan pemerintah terkesan meloncat dari sektor primer menuju sektor jasa, dan melupakan pertumbuhan industri. Hal itu terlihat dari dua sektor industri manufaktur utama Indonesi yang masih saja mencetak defisit neraca perdagangan.
Sepanjang 2013 lalu, Hardjanto menuturkan, perdagangan besi baja masih mengalami defisit mencapai 12,5 miliar dollar AS. Sementara, petrokimia, juga mencetak defisit yang hampir sama. “Dari dua sektor ini saja, defisit kita sudah mencapai 25 miliar dollar AS per tahun,” kata dia.
“Kita belum selesai di manufaktur, sudah masuk ke service. Ini jadi PR ke depan, bagaimana 30-40 persen pendapatan nasional harus dikontribusikan dari manufaktur. Baru kita keluar dari yang namanya middle income trap. Menjadi negara industri maju baru, dengan pendapatan 8.000-10.000 dollar AS per kapita,” jelas Hardjanto.
Pricing policy
Atas dasar itu, kebutuhan energi menjadi penting selain tersedianya bahan baku industri manufaktur. Masalahnya, kata Hardjanto, kebijakan harga gas sebagai salah satu sumber energi saat ini dinilai belum menunjang pertumbuhan industri manufkatur.
Harjanto menuturkan, meskipun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memiliki platform alokasi gas untuk industri mencapai 2.400 mmscfd pada 2015, namun dinamika industri juga tergantung faktor harga gas. “Mungkin suplai (gas) ada, tapi harga tetap menjadi konsideran,” kata dia.
Misalnya, dia mencontohkan, industri methanol bisa tumbuh lebih tinggi jika didukung harga gas 3 dollar AS per mmbtu (million metric british thermal unit). Namun, kenyataannya saat ini, harga gas yang dibeli pelaku industri rata-rata masih mencapai 9 dollar AS hingga 12 dollar AS per mmbtu.
No comments:
Post a Comment