Saat menyambangi kampung itu beberapa waktu lalu. Rumah-rumah tersebut tampak kosong karena ditinggal pemiliknya bekerja di Jakarta sebagai pengusaha warteg. Penduduk di sekitarnya pun agak enggan rumah-rumah itu dipotret. “Kalau tahu pedagang warteg sukses di kampung, pemilik bangunan di Jakarta akan semakin menaikkan harga sewanya,” kata lelaki yang tidak mau menyebutkan namanya.
Penduduk Sidokaton yang lain, Faizin, mengatakan harga sewa bangunan untuk warteg di Jakarta saat ini mencapai Rp 25 juta - Rp 30 juta per tahun. Menurut dia, warteg mengalami masa kejayaan pada tahun 80-an sampai 90-an. Sebab, harga sewa warung dan upah karyawan saat itu masih murah.
Hingga kini, dari sekitar 10.000 warga Desa Sidapurna, 50 persennya masih menekuni usaha warteg di Jakarta. Pedagang yang tergolong sukses mendapat penghasilan kotor Rp 3 juta Rp 5 juta per hari.
Penasehat Pusat Koperasi Warteg Jaya, Harun Abdi Manaf, mengatakan, mahalnya harga sewa bangunan dan kebutuhan pokok di Jakarta membuat sebagian pedagang warteg kini angkat kaki dan membuka usaha di kota lain. “Sewa warung di Jakarta minimal tiga tahun, sekitar Rp 90 juta. Pedagang yang bermodal kecil tidak mampu bertahan,” kata Harun.
Bahkan ada juga orang Tegal yang membuka warteg di kota lebih kecil seperti Majalengka, Jawa Barat. Di sana, ada sebuah warteg yang sempat menghebohkan karena penjaganya amat cantik, bernama Sasa Darfika. Warteg ini berada di sisi Jalan Parapatan Raya, Majalengka, Jawa Barat.
Ternyata Sasa adalah putri pemilik warteg itu sendiri. Ia sempat kuliah di sekolah kebidanan tapi memutuskan berhenti dan memilih ikut menjaga warung yang ramai dikunjungi orang. Sasa bikin warteg yang buka setiap hari selama 24 jam itu laris manis. Rata-rata sehari melayani 300 orang lebih.
Sejak Sasa terkenal di media massa dan media sosial, dalam sebulan ini penghasilan warteg bertambah seiring meningkatnya pembeli. Sempat ada yang kecewa karena tidak dilayani Sasa yang sedang istirahat tengah hari atau seusai jam kerjanya. "Dari rumah keluar sebentar untuk ketemu, daripada dibilang sok," ujar Sasa.
Lelaki paruh baya itu menatap curiga saat singgah di gang depan rumahnya di Desa Sidokaton, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, pada Ahad petang, 22 Maret 2015. "Mau memotret ya? Anda wartawan atau pegawai bank?" tanya lelaki berkain sarung itu seraya bergegas menghampiri.
Setelah ditunjukkan tanda pengenal, kerutan di dahinya mulai mengendur. Kendati demikian, lelaki itu sempat mencegah agar rumah-rumah mewah di sekitar rumahnya tidak difoto. Deretan rumah mewah berlantai dua dan berpagar besi tinggi di gang itu sebagian besar milik warga yang merantau ke Jakarta sebagai pedagang warteg (warung Tegal).
"Kalau tahu pedagang warteg sukses di kampung, pemilik bangunan di Jakarta akan semakin menaikkan harga sewanya," kata lelaki yang tidak mau menyebutkan namanya itu. Warga Sidokaton yang juga bekas pedagang warteg di Jakarta, Faizin, mengatakan harga sewa bangunan untuk warteg di Jakarta saat ini mencapai Rp 25 juta-30 juta per tahun.
"Selain karena harga sewa bangunan yang terus melambung, pedagang warteg kini juga kewalahan karena sulit mencari karyawan," kata Faizin yang juga Kepala Desa Sidapurna, Dukuhturi, Tegal. Sidokaton dan Sidapurna adalah dua desa yang bergandengan dan dikenal sebagai kampung warteg. Sejak tahun 70-an, warga di dua desa itu merantau ke Jakarta untuk membuka warung kecil-kecilan. "Warteg saat itu hanya menjual makanan kecil dan gorengan. Belum menyediakan nasi, sayur, dan lauknya," kata Faizin.
Menurut Faizin, warteg mengalami masa kejayaan pada tahun 80-an sampai 90-an. Sebab, harga sewa warung dan upah karyawan saat itu masih murah. Hingga kini, dari sekitar 10 ribu warga Desa Sidapurna, 50 persennya masih menekuni usaha warteg di Jakarta. Pedagang yang tergolong sukses mendapat penghasilan kotor Rp 3 juta-5 juta per hari.
Dengan besarnya penghasilan itu, sebagian pedagang warteg bisa membangun rumahnya di kampung. Biaya yang dihabiskan rata-rata Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. "Dari 2.000 rumah di Sidapurna, 500 di antaranya mewah," kata Faizin. Selain milik pedagang warteg, rumah-rumah mewah itu juga milik warga yang bekerja sebagai petani bawang merah.
Selama ditinggal merantau, rumah-rumah mewah itu hanya ditinggali orang tua atau saudara si empunya rumah. Tidak sedikit pula rumah-rumah mewah itu dibiarkan kosong hingga rumput liar tumbuh subur di halamannya. "Sebagian kecil dari rumah-rumah mewah itu dijaminkan sertifikatnya untuk pinjaman di bank," ujar Faizin.
Ketua Umum Pusat Koperasi Warung Tegal (Puskowarteg) Jaya, Sastoro, mengatakan pedagang warteg di Jakarta saat ini juga tertekan oleh mahalnya harga-harga kebutuhan pokok pasca-kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi pada 2014. "Kami tidak bisa asal menaikkan harga menu karena pelanggan warteg itu rakyat kecil," kata Sastoro.
Penasihat Puskowarteg Jaya, Harun Abdi Manaf, menambahkan, mahalnya harga sewa bangunan dan kebutuhan pokok di Jakarta membuat sebagian pedagang warteg kini angkat kaki dan membuka usaha di kota lain. "Sewa warung di Jakarta minimal tiga tahun, sekitar Rp 90 juta. Pedagang yang bermodal kecil tidak mampu bertahan," kata Harun.
Menurut Harun, kota yang menjadi sasaran para pedagang warteg pindahan dari Jakarta itu meliputi Bandung, Semarang, dan Yogya. "Tarif sewa warung di Bandung dan Semarang sekitar Rp 20 juta per tahun. Harga bahan kebutuhan pokok di dua kota itu juga lebih murah 40 persen jika dibandingkan dengan Jakarta," kata Harun.
Penduduk Sidokaton yang lain, Faizin, mengatakan harga sewa bangunan untuk warteg di Jakarta saat ini mencapai Rp 25 juta - Rp 30 juta per tahun. Menurut dia, warteg mengalami masa kejayaan pada tahun 80-an sampai 90-an. Sebab, harga sewa warung dan upah karyawan saat itu masih murah.
Hingga kini, dari sekitar 10.000 warga Desa Sidapurna, 50 persennya masih menekuni usaha warteg di Jakarta. Pedagang yang tergolong sukses mendapat penghasilan kotor Rp 3 juta Rp 5 juta per hari.
Penasehat Pusat Koperasi Warteg Jaya, Harun Abdi Manaf, mengatakan, mahalnya harga sewa bangunan dan kebutuhan pokok di Jakarta membuat sebagian pedagang warteg kini angkat kaki dan membuka usaha di kota lain. “Sewa warung di Jakarta minimal tiga tahun, sekitar Rp 90 juta. Pedagang yang bermodal kecil tidak mampu bertahan,” kata Harun.