Pertemuan bank sentral Amerika Serikat (Federal Open Market Committee/ FOMC) yang berakhir pada 18 Maret 2015 menyepakati penundaan kenaikan suku bunga acuan dari level 0-0.25 persen. Namun masih terbuka kemungkinan, kenaikan suku bunga dilakukan pada pertengahan 2015 atau pada pertemuan FOMC Juni-Juli.
Gubernur bank sentral Amerika (The Fed), Janet Yellen, menyatakan penundaan kenaikan suku bunga dilakukan hingga ada penilaian lebih lanjut mengenai kondisi perekonomian dalam negeri.
Menurut Yellen, untuk menentukan kisaran suku bunga, Komite The Fed menilai beberapa indikator yakni kondisi pasar tenaga kerja, indikator tekanan inflasi dan ekspektasi inflasi hingga perkembangan keuangan domestik dan internasional. "Komite menilai, akan tepat untuk menaikkan suku bunga ketika ada perbaikan lebih lanjut di pasar tenaga kerja dan cukup yakin bahwa inflasi akan kembali ke tujuan 2 persen dalam jangka menengah," kata Yellen, dikutip dari siaran pers The Fed.
Namun Yellen mengakui jika secara umum kondisi perekonomian Amerika relatif membaik. Informasi yang diterima The Fed menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi telah membaik, kondisi pasar tenaga kerja yang cerah, dan tingkat pengangguran yang lebih rendah. Menurut Yellen, berbagai indikator ini menunjukkan bahwa utilisasi tenaga kerja semakin besar.
Di sisi lain, pengeluaran rumah tangga mulai meningkat dan penurunan harga energi (minyak) telah mendorong kenaikan daya beli rumah tangga. Namun Yellen menyebut masih ada ganjalan yakni lambatnya pemulihan sektor properti residensial dan pertumbuhan ekspor yang melemah. "Komite berharap, dengan kebijakan yang tepat, kegiatan ekonomi akan berkembang pada kecepatan yang moderat," ucapnya.
Tarik ulur rencana kenaikan suku bunga The Fed menjadi momok bagi negara-negara berkembang. Kenaikan suku bunga ini dikhawatirkan akan memacu pelarian modal dari negara-negara berkembang. Sejak awal tahun 2015, isu suku bunga The Fed telah membuat dolar melonjak dan sejumlah mata uang, termasuk rupiah, menyusut tajam.
Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed) diyakini tidak akan menaikkan suku bunga acuan (Fed Rate) dalam waktu dekat. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengatakan asumsi itu dengan pertimbangan jika Fed Rate naik, maka akan memperburuk kondisi neraca perdagangan Negeri Abang Sam.
Kenaikan Fed Rate akan membuat dolar AS menjadi mahal karena mata uang beberapa negara mitra dagang terus melemah. "Kalau sudah begitu, dia mau dagang sama siapa. Ini kan yang melemah bukan cuma rupiah," katanya ketika dihubungi, Rabu, 18 Maret 2015. Menurut Enny, The Fed juga mempertimbangkan posisi Presiden AS Barack Obama. Jika neraca perdagangan AS kembali memburuk, posisi Obama di mata partai oposisi tentu akan semakin tersudut.
Pertemuan Dewan Gubernur The Fed atau Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) digelar pada 17-18 Maret, waktu AS. Dalam pertemuan ini, banyak pengamat dan analis memperkirakan The Fed mungkin akan menaikkan suku bunga acuannya dari level saat ini 0,25 persen.
Penerapan suku bunga hampir nol persen itu sejak Desember 2008, ketika negara itu dihantam resesi. Proyeksikan kenaikan Fed Rate, mempertimbangkan saat ini laju ekonomi dan angka pengangguran AS membukukan kinerja lebih positif melampaui perkiraan.
The Fed sebelumnya beberapa kali menunda rencana kenaikan Fed Rate. Menurut Enny, jika kenaikan suku bunga terus ditunda, maka psikologi pasar akan semakin memburuk. “Memang simalakama, makanya ekonomi itu ekuilibrium. Walaupun mata uangnya menjadi acuan dunia, namun AS tak akan bisa sewenang-wenang menaikkan suku bunga,” ujarnya.
Enny menyarankan agar pemerintah Indonesia memperkuat fundamental ekonomi agar tahan terhadap guncangan ekonomi global. Langkah itu agar nilai tukar rupiah lebih kuat. Perbaikan fundamental bisa dilakukan dengan menginventarisasi permintaan dan pasokan dolar untuk menghindari spekulan. Jika permintaan dan pasokan dolar dalam negeri sudah diketahui, maka pemerintah tak akan terpangaruh spekulasi dan kemauan pasar. "Ya mau bagaimanapun pasar pasti akan melakukan spekulasi dan selanjutnya profit taking," katanya.
Dalam beberapa pekan terakhir, kurs rupiah semakin melemah hingga menembus level Rp 13 ribu per dolar AS. Hari ini, berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, rupiah diperdagangkan di level Rp 13.164 per dolar AS atau sedikit menguat dibandingkan Selasa lalu sebesar Rp 13.209 per dolar AS.
No comments:
Post a Comment