Tuesday, March 17, 2015

Perajin Tempe Di Yogyakarta Mulai Kurangi Ukuran Tempe Karena Pelemahan Rupiah

Perajin tempe dan tahu yang menggunakan bahan baku kedelai hasil impor resah karena pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pedagang tempe di Pasar Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Pujiati, mengatakan harga kedelai per kilogram naik dari Rp 7.500 menjadi Rp 9.500 sejak lima hari lalu.

Kenaikan harga kedelai impor itu membuat para perajin tempe mengurangi takaran bahan baku kedelai untuk membuat tempe. "Ukuran tempe menjadi lebih kecil. Bobotnya dikurangi," katanya di Pasar Bantul, Jumat, 13 Maret 2015.

Pujiati mendatangkan tempe dari perajin di Bantul. Perajin mengurangi campuran kedelai untuk menekan biaya produksi karena harga kedelai yang naik. Misalnya satu canting kedelai dikurangi sedikit. Perajin yang memproduksi tempe yang dijual Pujiati mengolah 15 kilogram kedelai per hari.

Perajin tempe di Dusun Mandingan, Ringinharjo, Kecamatan Bantul, Kabupaten Bantul, Sri Susanti, mengatakan belum menaikkan harga tempe meski harga kedelai naik. Dia mengandalkan persediaan bahan baku kedelai yang ia beli dari pedagang di Pasar Niten, Bantul. Stok kedelai di rumahnya sebanyak 2 ton. "Kami berharap harga dolar tidak terus naik supaya harga kedelai impor normal," ujarnya.

Sri mengatakan, bila harga kedelai terus naik, ia harus menyiasatinya dengan cara mengurangi bobot tempe untuk menekan biaya produksi. Harga kedelai yang ia beli dari pedagang skala besar saat ini naik dari Rp 7.300 menjadi Rp 7.500 per kilogram. Sri setiap hari mengolah 1 kuintal kedelai impor.

Sri mengatakan kedelai impor menjadi tumpuan perajin tempe karena kualitasnya yang baik ketimbang kedelai lokal produksi petani Bantul. Sri pernah mencoba mengolah kedelai lokal menjadi tempe. Namun hasilnya kurang bagus. "Warna tempe menjadi kehitaman dan terlihat kotor," tuturnya.

Kepala Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM DIY Riyadi Ida Bagus mengatakan menguatnya dolar tidak menguntungkan bagi iklim usaha di Yogyakarta dalam jangka panjang. Mereka yang terkena imbas adalah kelompok usaha yang memanfaatkan bahan baku hasil impor. Misalnya perajin tempe yang mengandalkan kedelai impor. Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 70 persen. "Berat bagi perajin tempe karena mereka harus menekan biaya produksi," katanya.

Menurut Riyadi, seperti tahun-tahun sebelumnya, bila harga kedelai impor naik, perajin hanya mengandalkan persediaan kedelai. Perajin akan menunggu stok habis untuk membeli kedelai hingga harga dolar turun.

No comments:

Post a Comment