Gubernur organisasi eksportir minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries/OPEC) untuk Arab Saudi, Mohammed al-Madi, menyatakan harga minyak mentah akan sulit kembali ke kisaran US$ 100-120 per barel. Saat ini harga minyak Brent berkisar US$ 55 per barel.
“Saya rasa sulit untuk mencapai US$ 120 per barel kembali. Kami paham semua negara perlu penerimaan lebih tinggi. Kami juga ingin penerimaan lebih tinggi, tapi kami ingin penerimaan lebih tinggi untuk kami dan generasi mendatang,” kata Madi dalam konferensi energi di Riyadh, Minggu, 22 Maret 2015.
Madi mengatakan turunnya harga minyak bumi saat ini terjadi karena faktor fundamental pasokan dan permintaan. Beberapa produsen minyak mengkritik kebijakan Arab Saudi yang membiarkan harga minyak turun dan menolak mengurangi produksi minyak. Produsen-produsen minyak menuding Arab Saudi ingin menghalangi produsen minyak lain, seperti Iran, yang selama ini menjadi lawan diplomatik Arab Saudi. Madi membantah ada faktor politis di balik kebijakan perminyakan Arab Saudi.
“Tak ada dimensi politik, kami tidak bermaksud menyakiti siapa pun. Visi kami komersial dan ekonomis: produsen dengan biaya produksi rendah harus mendapat prioritas berproduksi, tapi yang memiliki biaya produksi tinggi harus menunggu giliran berproduksi,” kata Madi.
Madi mengatakan kepentingan OPEC saat ini bukanlah mengendalikan harga, tapi terjadinya keseimbangan pasar. Harga dibentuk oleh pasar dan sangat bergantung pada pasokan dan permintaan.
Nilai impor pada Januari 2015 mencapai US$ 12,59 miliar, turun 12,77 persen dibandingkan impor Desember 2014 yang mencapai US$ 14,34 miliar. Sedangkan, dibandingkan impor Januari 2014 senilai US$ 14,91 miliar, penurunannya mencapai 15,59 persen.
Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Haryo Aswicahyono, mengatakan penurunan drastis harga minyak dunia menjadi pendorong berkurangnya nilai impor. “Pasar minyak lebih kompetitif dibanding dulu. Perkiraan harga minyak tahun ini berkisar US$ 20-60 per barel,” katanya,
Harga minyak global turun cukup tajam pada Januari 2015. Misalnya, rata-rata harga minyak West Texas Intermediate dari US$ 59,29 per barel pada Desember 2014 menjadi US$ 47,33 per barel. Harga minyak Brent turun US$ 13,51 per barel dari US$ 63,27 per barel pada Desember 2014.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan harga minyak turun karena pasokan minyak OPEC meningkat, sementara proyeksi permintaan minyak global turun. Pertumbuhan ekonomi global juga masih lemah. Proyeksi International Monetary Fund, terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi 0,3 persen akibat pelemahan ekonomi Cina, Rusia, dan negara berkembang.
Penurunan juga terjadi pada ekspor migas yang tercatat turun 11,75 persen dari US$ 2,35 miliar pada Desember 2014. Kementerian Energi mencatat rata-rata harga Indonesian Crude Price turun US$ 14,26 menjadi US$ 45,30 pada Januari 2015. Harga minyak mentah kembali jatuh pada hari Senin ke level terendahnya dalam enam tahun.
Harga minyak jenis WTI turun menjadi US$ 43,57 pada awal perdagangan atau terendah sejak Maret 2009, sebelum akhirnya mengalami rebound ke level US$ 44,34 per barel pada Senin pagi, 16 Maret 2015. Sedangkan Brent diperdagangkan pada US$ 54,32 per barel.
Menguatnya posisi mata uang dolar dan penuhnya kapasitas kilang di Amerika Serikat menjadi penyebab turunnya harga minyak. "Pernyataan Badan Energi Internasional (IEA) bahwa AS akan kehabisan kilang kosong untuk menampung minyak mentah membebani harga minyak," demikian hasil analisis Bank ANZ.
Di sisi lain, kembali dibukanya sumur minyak AS yang ditutup pada musim dingin ekstrem akhir tahun lalu berpotensi mendorong harga minyak lebih rendah pada tahun ini. Analis PGE Energy, Wendy Yong, mengatakan rendahnya harga minyak mentah diharapkan menjadi insentif seiring masih tersedianya kapasitas kilang di Cina. "Opsi impor minyak mentah bisa diambil oleh Cina pada akhir tahun ini."
Goldman Sachs memprediksi turunnya harga minyak juga bisa memicu produksi minyak mentah AS lebih rendah pada kuartal kedua 2015. Hal ini mengantisipasi menguatnya nilai tukar dolar yang membuat harga komoditas lebih mahal bagi pemegang mata uang nondolar.
No comments:
Post a Comment