Industri farmasi tanah air terpukul akibat pelemahan nilai tukar rupiah. Pasalnya, 90 sampai 95 persen bahan baku pembuatan produk obat masih diimpor dari sejumlah negara seperti Cina, India, Jepang, serta beberapa negara di Eropa. "Pelemahan rupiah membuat biaya produksi membengkak," kata Direktur PT Kalbe Farma Vidjongtius di kantornya, Kamis, 26 Maret 2015.
Nilai tukar rupiah sejak awal bulan ini memang terus melemah, bahkan sempat menembus level Rp 13 ribu per dolar AS. Hari ini, rupiah tercatat berada di level Rp 12.944 atau melemah 24 basis poin dari perdagangan kemarin. Vidjongtius menyatakan pelaku industri farmasi berharap rupiah bisa kembali ke level Rp 12 ribu. "Kalau di posisi sekarang masih memberatkan," ujarnya.
Kendati demikian, Vidjontius menjelaskan, pelemahan rupiah ini dapat diantisipasi dengan mencari produsen bahan baku farmasi ke negara-negara lain yang harganya lebih murah. "Kami sekarang membeli dari India dan beberapa negara di Asia karena biayanya lebih murah." Kebutuhan impor bahan baku ini masih tinggi karena di Indonesia belum ada industri bahan baku farmasi.
Cara lain untuk mengatasi pelemahan rupiah yang dilakukan Kalbe adalah dengan menerapkan sistem natural hedging. "Kami memiliki cadangan devisa dalam bentuk valuta asing," ucapnya. "Cadangan inilah yang kami pakai untuk membeli bahan baku obat." Kalbe menyiapkan cadangan dana valas sebesar Rp 40 sampai 50 juta dolar yang cukup untuk digunakan membeli bahan baku produksi untuk 3 sampai 4 bulan.
"Ini semacam tabungan," ujar dia. "Jadi kalau dana cadangan itu terpakai diisi lagi, ya mirip cadangan devisa negara." Cara ini, kata dia, mampu menjaga keseimbangan neraca keuangan perusahaan. Adapun, Vidjongtius menyebutkan, untuk kebutuhan impor bahan baku, perusahaan harus menyiapkan dana lebih dari US$ 200 juta.
Walaupun pelemahan rupiah memukul industri farmasi dari sisi biaya produksi, namun kondisi ini juga di sisi lain menguntungkan. "Apalagi kalau perusahaannya sudah berorientasi ekspor." Dengan melemahnya rupiah, kata dia, justru industri farmasi mendapat tambahan keuntungan lewat ekspor produk obat ke negara lain.
Untuk Kalbe, Vidjontius menjelaskan, kapasitas ekspor perusahaan saat ini baru mencapai 5 persen dari total penjualan pertahun. "Tapi pertumbuhannya cukup tinggi." Kalbe memiliki sejumlah negara tujuan ekspor yang tersebar di wilayah Afrika bagian barat dan selatan serta Asia Tenggara.
"Untuk Afrika pertumbuhan penjualannya bisa lima belas sampai dua puluh persen pertahun." Sedangkan, dia menambahkan, untuk Asia Tenggara pertumbuhan penjualannya lebih besar yakni 20 sampai 25 persen.
PT Kalbe Farma Tbk menerima keputusan Kementerian Kesehatan yang menyebutkan perusahaan obat ini lalai dalam kasus meninggalnya dua pasien di Rumah Sakit Siloam Tangerang pada Februari lalu. Manajer Komunikasi Eksternal PT Kalbe Farma Hari Nugroho mengatakan akan menjalankan rekomendasi Kementerian Kesehatan.
"Kami sudah menerima surat dari Kementerian," kata Hari saat dihubungi, Senin, 23 Maret 2015. Menurut dia, Kalbe bahkan mulai menjalankan instruksi Kementerian. Kasus obat suntik produksi PT Kalbe Farma bermula dari meninggalnya dua pasien Rumah Sakit Siloam Tangerang pada pertengahan Februari lalu. Keduanya tewas setelah disuntik obat bius Buvanest Spinal. Belakangan diketahui bahwa yang diberikan bukan Buvanest, melainkan obat dengan kandungan asam Tranexamat.
Hasil investigasi Kementerian menyebutkan Kalbe lalai dalam proses produksi sekunder. Kalbe dituding tidak cermat dalam memberikan label sehingga ada dugaan Buvanest tertukar asam Tranexamat. Kementerian meminta Kalbe menarik semua Buvanest dan memusnahkannya.
"Kami sudah mulai menarik dan menjalankan instruksi Kementerian Kesehatan," kata Hari. Selain itu, Kalbe akan memperbaiki proses produksi agar kejadian serupa tidak terulang. Buvanest buatan Kalbe yang digunakan Siloam diproduksi pada akhir November tahun lalu. Produksi obat bius oleh Kalbe dilakukan secara massal—satu kali produksi sekitar 14 ribuan buah. Kemudian didistribusikan ke rumah sakit-rumah sakit yang terafiliasi dengan Kalbe.
No comments:
Post a Comment