Saturday, March 21, 2015

Keamanan Energi Nasional Indonesia Terancam Oleh Pelemahan Rupiah

Turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dapat mengganggu keamanan pasokan energi saat ini dan di masa depan. Dua badan usaha milik negara penyedia energi dalam negeri yakni, Pertamina dan PLN, terpukul dengan depresiasi ini.

Analis dari Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Fabby Tumiwa menjelaskan kebutuhan valas dalam bentuk dollar untuk Pertamina dan PLN sangat besar. "Diperkirakan Pertamina menghabiskan sekitar 60% pendapatannya, atau setara dengan 60 juta dollar, untuk biaya pengadaan minyak mentah, BBM dan LPG untuk memenuhi kebutuhan energi domestik setiap hari," kata Fabby yang juga Direktur Institute for Essential Service Reform (IESR), Kamis, 19 Maret 2015.

Kombinasi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar dan fluktuasi harga minyak dunia telah menyebabkan Pertamina mengalami kerugian. Pada bulan Januari 2015, kata Fabby, kerugian Pertamina 35 juta dollar (setara 420 miliar rupiah). Sekitar 70% dari biaya PLN untuk pengadaan bahan bakar, pembelian listrik swasta (IPP), operasi dan perawatan pembangkit, serta pembayaran imbal obligasi global, juga dalam dollar.

Thamrin School of Climate Change and Sustainability menyarankan sejumlah kebijakan untuk mengendalikan konsumsi dan pertumbuhan konsumsi bahan bakar minyak serta energi listrik. Dalam jangka pendek, kata Kepala Sekolah Thamrin School Farhan Helmy, melakukan kampanye publik untuk medorong terjadinya gerakan hemat BBM dan listrik di seluruh Indonesia.

Cara ini diharapkan dapat mengurangi tingkat konsumsi BBM dan listrik sehingga impor minyak dan BBM dapat dikendalikan. Pengurangan konsumsi BBM dan listrik juga dapat mengakibatkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk mengurangi dampak perubahan iklim;

Kebijakan kedua, menjaga tingkat harga jual BBM yang berlaku saat ini pada bulan-bulan mendatang walaupun harga minyak mentah dunia mengalami penurunan kembali. Hal ini diharapkan dapat mengurangi tingkat konsumsi BBM dan membantu neraca keuangan Pertamina.

Ketiga, mempercepat substitusi BBM ke bahan bakar gas sebagaimana yang sudah diwacanakan sejak masa pemerintahan sebelumnya. Pengalihan ini perlu didukung dengan perbaikan tata kelola gas domestik sehingga tercipta keamanan pasokan gas dan harga yang terjangkau bagi konsumen akhir.

Untuk kebijakan jangka menengah-panjang, Thamrin School mendesak pemerintah dan pemerintah daerah melakukan beberapa kebijakan.

Pertama, mengembangkan sistem transportasi publik yang handal, aman dan nyaman untuk mengurangi pertumbuhan konsumsi BBM, Kedua, menetapkan kebijakan fuel economy standard yang dapat berlaku dalam 5 tahun kedepan.

Kebijakan ini harus mulai dipersiapkan segera mungkin sehingga dapat diterapkan segera untuk kendaraan bermotor di Indonesia. "Ketiga, memperkenalkan instrumen pajak karbon untuk BBM, kata Fabby. Keempat, mendorong pengembangan energi terbarukan yang murah melalui fasilltas alih dan akusisi teknologi dan fasilitas pendanaan yang mudah dan murah untuk membiayai proyek-proyek energi terbarukan.

Kebijakan Energi Nasional (KEN) mentargetkan energi terbarukan dapat mencapai 23% dari bauran energi nasional pada tahun 2025. Thamrin School mendukung rencana pemerintah untuk meningkatkan kebijakan meningkatkan blending biofuel (BBN) dengan BBM sebanyak 15%, dalam rangka mengurangi impor BBM dan kebutuhan valas (dollar).

Berdasarkan rasio campuran bio-etanol wajib, Indonesia akan membutuhkan setidaknya 10 juta kiloliter bio-etanol sebelum 2025. Pemanfaatan lahan terdegradasi dan terlantar merupakan salah satu peluang. Diperkirakan ada sekitar 1.5 Juta ha lahan terdegradasi yang sesuai untuk memasok konsumsi bio-etanol yang diamanatkan (ICCC, 2014)

"Walaupun demikian, kebijakan ini masih memiliki segudang tantangan," kata Jalal, Reader (analis) on Political Economy and Corporate Governance, Thamrin School. Pertama, penyediaan biofuel (BBN) harus mempertimbangkan dan menjunjung tinggi aspek-aspek keberlanjutan, net emisi GRK yang dihasilkan, serta kelestarian fungsi ekologis.

Kedua, peningkatan produktifitas perkebunan dan efisiensi produksi BBN dari minyak sawit (CPO) harus tetap menjadi prioritas pemerintah. Ketiga, audit biaya produksi BBN secara berkala sebagai acuan untuk menetapkan indeks harga BBN yang efisien dan berpihak pada kepentingan publik, tidak hanya bagi produsen BBN.

Keempat, pengembangan BBN secara terpadu dan terintegrasi, dengan strategi pengembangan energi terbarukan dan substitusi bahan bakar minyak dengan menpertimbangkan sensitifitas terhadap kesetimbangan ekologis dan kelestarian lingkungan.

Farhan menjelaskan perlu ditunjukkan suatu kebijakan tataruang dan keberpihakan pada pengembangan industri dan tatakelolanya secara adil dan konsiten. Kelima, pengembangan BBN dari tumbuhan energi yang lebih produktif, murah dan aman harus terus diupayakan oleh Pemerintah melalui dukungan penelitian dan pengembangan, produksi dan kebijakan harga.

No comments:

Post a Comment