Saturday, March 21, 2015

Cukai Rokok Naik ... 4.100 Pabrik Rokok Gulung Tikar

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mencatat sekitar 4.100 pabrik rokok gulung tikar dalam lima tahun terakhir akibat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak. Lebih dari 100 ribu pekerja yang terkait dengan produksi rokok dilaporkan Gappri kehilangan pekerjaan dalam kurun waktu tersebut.  "Berdasarkan riset kami, pada 2009 ada 4.900 industri rokok dan lima tahun kemudian tinggal 800 pabrik," ujar Sekretaris Jenderal Gappri Hasan Aoni di Jakarta, Jumat (20/3).

Dengan asumsi satu pabrik mempekerjakan sekitar 25 orang, Hasan mengkalkulasi sekitar 102,5 ribu buruh pabrik telah dirumahkan akibat tutupnya pabrik. Saat ini tinggal sekitar 600 ribu orang yang berkontribusi dalam produksi rokok, di luar kegiatan distribusi dan marketing.

Hasan Aoni menyebut kenaikan cukai setiap tahunnya sebagai penyebab utama runtuhnya industri kretek berbasis kearifan lokal ini. Bukti terkini adalah anjloknya produksi rokok kretek dalam dua bulan terakhir menyusul kenaikan tarif cukai rata-rata 8,72 persen per Januari 2015.  "Januari itu turun 33 persen dibandingkan Januari 2014 dan Februari turun 20 persen dibanding Februari 2014," ujar Hasan.

Hasan Aoni menjelaskan dalam setiap batang rokok ada tiga biaya yang melekat dan membebani konsumen. Pertama, tarif cukai yang naik setiap tahun. Kedua, pajak rokok yang dipungut oleh pemerintah daerah sebesar 10 persen dari tarif cukai. Ketiga, pajak pertambahan nilai (PPN) yang saat ini berlaku 8,4 persen dari harga jual.  "Kalau ditotal sebenarnya pemegang saham terbesar industri rokok adalah pemerintah," kata Hasan.

Menurutnya, sekitar 65 persen dari pendapatan industri rokok masuk ke kas negara dalam bentuk cukai, pajak rokok daerah dan PPN. Sementara sisanya 35 persen dikelola oleh pemegang saham yang sebanarnya untuk mebeli bahan baku, bayar upah buruh, dan biaya marketing.

"Misalnya sebatang harganya Rp 1.000, 57 persennya atau Rp 570 merupakan cukai. belum ditambah 10 persen pajak rokok (daerah) dan PPN 8,4 persen. Yang bersih sekitar 65 persen masuk kas negara," ujarnya. Dalam rangka mengejar target penerimaan negara, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk hasil tembakau. Kebijakan ini dipastikan akan mendongkrak harga jual rokok di pasar domestik. 

"Kami rencanakan untuk menaikkan tarif (PPN rokok). Cuma kami belum tentukan tarifnya berapa persen," kata kata Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Irawan di Gedung Utama Kantor DJP, Jakarta, Kamis (5/3). Menurut Irawan, inisiatif ini muncul karena mempertimbangkan harga jual rokok di tanah Air yang lebih rendah dibandingkan harga rata-rata di negara lain, khususnya di kawasan Asean. Selain itu, rokok dinilai sebagai barang inelastis yang meskipun harga naik, konsumsinya cenderung akan tetap.

"DJP masih melihat adanya ruang untuk menaikkan harga (rokok)," tuturnya.

Selain terkena cukai, jelas Irawan, produk hasil tembakau (HT) selama ini juga dikenakan PPN dengan tarif sebesar 8,4 persen dikalikan harga jual eceran. Secara pribadi, Irawan berharap tarif PPN HT naik menjadi 10 persen. Namun, secara kelembagaan rencana tersebut masih perlu dikaji kembali dengan mempertimbangkan beban yang akan timbul bagi industri rokok.

"Tapi pastinya tidak akan segitu (10 persen) karena kita kan pertimbangkan sisi industrinya. Kalau PPN naik kan nanti (perusahaan rokok) bisa gulung tikar. Terutama untuk perusahaan rokok kecil yang kalah bersaing dengan perusahaan rokok besar. Ini perlu kita pertimbangkanlah kemampuan daripada perusahaan-perusahaan rokok kecil," kata Irawan.

Dia berharap kajian mengenai kenaikan tarif PPN HT rampung pada bulan ini sehingga bisa segera diterapkan pada tahun ini. Namun, Irawan memastikan tarif cukai rokok tidak akan naik untuk kedua kalinya pada tahun ini. Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai dalam dua bulan pertama 2015 sebesar Rp 21,5 triliun, meleset 33 persen dari target rata-rata harian yang seharusnya Rp 32,2 triliun.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mencatat penerimaan negara dari cukai per 28 Februari 2015 sebesar Rp 17 triliun, jauh di bawah realisasi seharusnya Rp 24 triliun.  Demikian pula dengan setoran bea masuk, yang baru sebesar Rp 4 triliun dari target Rp 6,2 triliun. Kondisi yang sama juga terjadi untuk penerimaan bea keluar, yang baru terealisasi Rp 544 miliar dari target Rp 2 triliun.

Oza Olavia, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai DJBC menilai wajar jika setoran cukai belum tinggi di awal tahun. Menurutnya, banyak faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya penerimaan cukai.  "Cukai itu sebenarnya fluktuatif. Seperti tahun lalu ada pemilu, penerimaan dari rokok (tembakau) naik. Jadi memang ada hal-hal yang mempengaruhi cukai di Indonesia," jelas Oza di kantornya, Rabu (11/3).

Menurut Oza, 80 persen penerimaan cukai sejauh ini masih didominasi dari cukai hasil tembakau. Oza menilai kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok menjadi rata-rata 8,7 persen sejak awal tahun 2015 menyebabkan para pengusaha memborong pita cukai sebelum tarif baru diberlakukan. "Dari sisi bisnis bisa-bisa saja, karena memang rata-rata kenaikkan cukai rokok yang 8,7 persen untuk 2015, berlakunya 1 januari. Bisa saja, tapi dominan atau tidak saya tidak tahu. Kenaikkan ini diharapkan bisa mendongkrak penerimaan nantinya," kata dia.

Terkait bea masuk, Oza mengatakan belum tercapainya target disebabkan oleh perekonomian global yang sedang menurun. Sementara menyangkut bea keluar, kebijakan pemerintah membebaskan bea keluar sejumlah komoditas disinyalir menjadi penyebabnya.

"Memang penerimaan bisa dari minerba walaupun terbatas. Karena tidak semua minerba dilarang. Dominan ini karena mineral, kalau kakao tidak," jelasnya Produsen rokok asal Surabaya, PT Wismilak Inti Makmur Tbk. berharap pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, untuk mengkaji penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk hasil tembakau dari 8,4 persen menjadi 10 persen.

“Ya kami harap dikaji lebih dulu. Selama ini kan tiap tahun cukai rokok juga selalu naik. Kalau mendadak seperti ini, kami takut tidak bisa melakukan penyesuaian keuangan,” ujar Corporate Secretary Wismilak, Surjanto Yasaputera. Dia membeberkan, rencana pemerintah tersebut dikhawatirkan bakal membuat perseroan harus menaikkan harga jual. Jika hal itu terjadi, lanjut Surjanto, maka bakal berpengaruh terhadap daya beli masyarakat nantinya.

“Selama ini kami sudah menaikkan harga jual setiap adanya penaikan cukai. Bisa 6 sampai 10 kali dalam setahun. Kalau rencana penaikan pajak terjadi, kami khawatir daya beli menurun. Kalau bisa ditunda dulu penaikan itu, jangan di pertengahan tahun,” jelasnya. Surjanto menyatakan, pada 2014 pihaknya sudah cukup puas dengan kinerja dan situasi yang ada. Meski industri di sektor lain mengalami banyak kendala hingga perlambatan, manajemen Wismilak memprediksi pihaknya malah bisa tumbuh positif di atas prediksi.

“Kami perkirakan bisa di atas prediksi. Alasannya, penaikan upah minimum regional (UMR) mendorong daya beli masyarakat, meski beban penghasilan kami juga naik,” jelasnya. Padahal, sepanjang sembilan bulan pertama 2014, Wismilak mengalami penurunan laba bersih sebesar 27,77 persen menjadi Rp 80 miliar, dari capaian periode yang sama 2013 senilai Rp 110,77 miliar. Hal itu bersumber dari penjualan bersih yang turun menjadi Rp 1,18 triliun dari Rp 1,19 triliun pada 2013.

Lebih lanjut, Surjanto menyatakan pihaknya menargetkan produksi rokok dari sebanyak 1,8 miliar total 2,5 miliar batang, baik dari Sigaret Kretek Tangan (SKT) maupun Sigaret Kretek Mesin (SKM). Padahal, dalam rencana pemerintah, perusahaan dengan jumlah produksi di atas 2 miliar batang adalah golongan industri tertinggi yang bakal mendapat pengenaan cukai dan pajak lebih tinggi.

“Makanya itu, kami berharap rencana penaikan produksi hingga 2,5 miliar bisa berjalan mulus, tanpa hambatan,” jelasnya. Sementara itu, perusahaan sekuritas asal Korea, PT Daewoo Securities Indonesia menyatakan, secara global, konsumsi rokok meningkat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti di Asia yang beralih dari pasar negara maju.

“Indonesia sebagai salah satu negara di pasar negara berkembang telah mengambil keuntungan dari tingkat peraturan yang lemah, populasi yang meningkat dan meningkatnya pendapatan. Ini adalah industri yang penting bagi Indonesia dikarenakan industri ini menggunakan tingkat SDM yang tinggi,” tulis analis Daewoo, Renaldy Effendy, dikutip pada Jumat (20/3).

Sebagai contoh, petani Indonesia mencari nafkah dengan menanam tembakau sementara hampir 7 juta orang bekerja di industri rokok secara langsung maupun tidak langsung. Sayangnya, industri ini sedang menghadapi kesulitan karena potensi pajak yang tinggi, yaitu 10 persen pajak rokok ditambah 8,7 persen pajak cukai berdasarkan anggaran 2015, dan regulasi yang ketat (membatasi semua tipe periklanan baik melalui TV ataupun media cetak).

“Masalah ini tentu saja memberikan sentimen untuk industri rokok, dilihat dari penurunan 9,7 persen dalam volume industri rokok,” katanya. Renaldy menyatakan pihaknya percaya bahwa jika pemerintah memutuskan untuk menerapkan pajak cukai yang lebih tinggi, dampaknya akan lebih dirasakan oleh produsen kecil seperti rokok ilegal atau sekitar 7-8 persen dari total produksi negara.

“Sedangkan untuk pemain besar, kami mengharapkan mereka dapat menyalurkan tekanan biaya pajak kepada konsumen dikarenakan oleh posisi merk mereka yang sudah kuat di pasar,” jelasnya. Mengenai masalah pajak, Daewoo menduga adanya kemungkinan bahwa pemerintah akan merevisi ulang waktu dan jumlah pajak yang akan ditambahkan oleh karena itu dapat berdampak pada volume penjualan yang pada akhirnya bisa membuat penerimaan pendapatan pajak pemerintah tidak mencapai target.

Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) memukul banyak sektor industri di Tanah Air. Kecuali industri rokok, yang menurut Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) punya pengalaman hebat ketika bertahan dari gejolak krisis keuangan.  "Seperti ketika krisis-krisis sebelumnya, industri kretek tetap bertahan karena dari hulu ke hilir hampir semua bahan bakunya dari dalam negeri," ujar Sekretaris Jenderal Gappri Hasan Aoni di Jakarta, Jumat (20/3).

Kendati demikian, lanjut Hasan, dampak lanjutan depresiasi rupiah terhadap kondisi makroekonomi dapat berimbas pada melemahnya daya beli masyarakat terhadap produk hasil tembakau. Misalnya ketika inflasi naik atau pertumbuhan ekonomi melambat, akan terjadi pengalihan konsumsi ke barang-rang kebutuhan pokok.

"Jadi pemerintah harus memperhatikan aspek psikologi dan daya beli masyarakat ketika mengeluarkan kebijakan," tuturnya.  Pernyataan Hasan tersebut merujuk pada rencana pemerintah mengubah besaran tarif pajak pertambahan nilai (PPN) rokok dari 8,4 persen menjadi 10 persen, menyusul kenaikkan cukai sebesar 8,72 persen di awal tahun ini.

Menurutnya, kebijakan cukai atau pajak atas rokok merupakan faktor terbesar yang menghambat pertumbuhan industri hasil tembakau dalam lima tahun terakhir. Industri padat karya ini mengalami kemunduran sejak roadmap industri hasil tembakau intensif diberlakukan pada 2009 melalui kebijakan kenaikan cukai bertahap hampir setiap tahun.

"Pada 2009 ada 4.900 industri rokok dan lima tahun kemudian tinggal 800 pabrik. Kalau satu pabrik mempekerjakan sekitar 25 orang, total sekitar 102,5 ribu orang kehilangan pekerjaan," tuturnya.  Dia berharap pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap industri rokok. Sebab, industri rokok memiliki struktur usaha yang unik dan berbasis kearifan lokal.

Sebelumnya, Pengamat Kebijakan Publik dari Instritute for Policy Reform (IPR) Riant Nugroho mengatakan mayoritas industri di Tanah Air memiliki ketergantungan yang tinggi atas bahan baku impor sehingga rentan terpukul ketika rupiah terkoreksi. Hal itu terjadi karena pemerintah selama ini dinilai gagal membangun kultur industri yang kuat di berbagai sektor.

"Struktur industri kita rapuh dan tidak pernah dibangun oleh kabinet-kabinet yang lalu. Sebenarnya contoh yang bagus itu justru industri rokok. Dia unik dan itu yang seharusnya dibantu," katanya. Seperti diketahui, dalam rangka meredam pelemahan rupiah, pemerintah mengeluarkan delapan kebijakan. Salah satunya adalah memberikan fasilitas keringanan pajak sebesar 30 persen bagi industri nasional yang melakukan ekspor.

Abhisam D.M, Koordinator Nasional Komunitas Kretek, meyakini rencana pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) produk hasil tembakau tak akan menurunkan permintaan rokok. Buktinya, lanjut Abhisam, jumlah perokok relatif stagnan di kisaran 70 juta orang kendati tarif cukai rokok naik rata-rata 8,72 persen per Januari 2014.

"Kebijakan pajak itu mungkin lebih berpengaruh ke pabrikan atau industri kecil menengah. Kalau kami tidak terlalu terpengaruh. Konsumen rokok saat ini sekitar 70 juta, jumlahnya relatif stagnan," tuturnya.

No comments:

Post a Comment