Matahari bersinar terik di kota Namlea, ibu kota pulau Buru, Maluku, saat saya menelusuri kota tersebut bulan Maret 2015. Di kanan-kiri jalan saya melihat banyak papan bertuliskan "jual emas". Pemandangan serupa, saya temui ketika saya berada di beberapa desa berbeda di pulau Buru.
Saya akhirnya bertemu dengan Mahani, seorang wanita paruh baya. Mahani menjelaskan bahwa dia dulu merupakan seorang petani minyak kayu putih, namun sejak tiga tahun terakhir menjadi seorang penambang emas di gunung Botak. Pulau yang dahulu lebih dikenal sebagai produsen minyak kayu putih itu empat tahun terakhir memang berubah menjadi menjadi tempat penghasil emas.
Semua berawal dari mimpi seorang penduduk bahwa di suatu lokasi bernama gunung Botak, terdapat emas. Warga pada tahun 2011 berbondong-bondong menggali daerah tersebut dan menemukan bahwa emas nyata ada di gunung Botak.
Kini Mahani dan puluhan ribu orang di pulau Buru beralih profesi dari umumnya seorang petani minyak kayu putih, menjadi penambang emas, karena alasan yang dikemukakan oleh Mahani. "Kalau jadi penambang emas itu dapat lebih daripada menjadi seorang petani minyak kayu putih. Karena satu hari itu bisa mendapatkan hasil per gram, harganya Rp385.000,00. Karena ibu ini orang susah, demi anak-anak dapat bersekolah," jelas Mahani.
Selain Mahani yang memang merupakan penduduk pulau Buru, banyak warga dari luar pulau Buru mengadu nasib untuk menjadi penambang emas di gunung Botak. Hal ini kemudian menimbulkan konflik antar warga yang tidak jarang berakibat pada kematian. Pemerintah sudah berusaha menutup gunung botak, namun usaha tersebut belum membuahkan hasil.
Warga terus mencari emas. Trisno asal Jakarta adalah salah satunya. Meski demikian, Trisno menjadi penambang emas di lokasi lain di pulau Buru bernama Gogorea. "Bos saya dulu usahanya di gunung Botak. Nah, akhirnya pasca kerusuhan yang terakhir itu, semua tromol yang ada di gunung Botak dipindahkan ke Gogorea. Akhirnya, saya yang tadinya di Jakarta, belum pernah kerja di tambang sama sekali, disuruh bos untuk pindah ke Gogorea," kata Trisno.
Trisno mengaku sebelumnya merupakan pegawai pemasaran air kemasan di Jakarta, ketika atasannya menugaskan dia untuk menjadi penambang emas di Gogorea. Dia pun terpaksa belajar banyak mengenai emas. Namun setelah para penambang emas mendapatkan emas, apa yang sebenarnya terjadi dengan emas tersebut?
Sepulang dari perjalanan saya di pulau Buru, saya berbincang-bincang dengan Nur Octavhiani, seorang penjual emas di pusat perbelanjaan Cempaka Putih, Jakarta. Dia sudah sekitar 10 tahun berjualan emas. Vhia, begitu Nur Octavhiani kerap disapa, menjelaskan asal emas yang dia jual.
"Kalau saya pribadi ambil barang dari (penjual). Dan -nya itu sendiri biasanya ngambil dari pabrik-pabrik. Pabriknya mulai dari yang ada di Surabaya, Bandung, Jakarta sampai dari Kendari, Makassar."
Berjualan emas merupakan bisnis keluarga Vhia sejak puluhan tahun. Dalam satu bulan, toko milik keluarga Vhia dapat meraih keuntungan sekitar 30-50 juta Rupiah. Meski merupakan seorang sarjana ekonomi manajemen, Vhia memutuskan untuk tetap mengikuti usaha keluarganya berjualan emas karena bisnis emas menjanjikan.
Dia pun mengaku ilmu yang ia peroleh di bangku kuliah berguna untuk mengelola toko emasnya.
No comments:
Post a Comment