"Meskipun pasar keuangan sebagian telah memperhitungkan efek normalisasi kebijakan moneter yang terjadi di Amerika Serikat, Indonesia masih tetap rentan terhadap kenaikan suku bunga internasional mengingat bahwa kebutuhan pendanaan eksternal masih tetap signifikan," ujar Sekretaris Jenderal Angel Gurria pada acara peluncuran OECD Economic Survey on Indonesia di Jakarta, Rabu (26/3).
Menurut Gurria, defisit transaksi berjalan Indonesia masih akan tetap tinggi pada tahun ini, yang sebagain diakibatkan oleh pendapatan yang lebih rendah dari sektor ekstraksi pertambangan, seiring dengan menurunnya harga komoditas. Neraca fiskal atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga diperkirakan tetap mengalami defisit, tetapi masih di level yang aman.
"Permintaan ekspor dari mitra dagang, khususnya Tiongkok, mungkin tidak pulih secepat yang diperkirakan dan harga komoditas dapat menjadi semakin melemah," jelasnya.
Berdasarkan hasil surveinya, OECD memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan Indonesia akan melandai ke kisaran 2,8 persen PDB pada tahun ini dan menyentuh 2,5 persen PDB pada 2016. Demikian pula dengan defisit APBN, pada tahun ini diyakini sekitar 2 persen PDB dan menjadi 1,8 persen PDB pada tahun depan.
Sejalan dengan proyeksi tersebut, OECD memperkirakan tingkat suku bunga jangka pendek akan bergerak di kisaran 7 persen dan turun menjadi 6,6 persen pada 2016. Hal ini selaras dengan pergerakan inflasi yang dipercaya akan semakin turun ke level 4,8 persen pada 2015 dan menjadi 4 persen pada 2016.
"Di masa mendatang, BI perlu tetap mengambil sikap berhati-hati dalam mengubah kebijakannya, dengan memperhitungkan faktor eksternal maupun internal, khususnya terkait dengan isyarat bahwa percepatan pertumbuhan ekonomi dalam negeri tidak akan secepat yang diproyeksikan sebelumnya," tuturnya.
Sebelumnya, Bank Pembangunan Asia (ADB) memproyeksi inflasi Indonesia akan melaju di kisaran 5,5 persen pada tahun ini, sebelum melandai ke level 4 persen pada tahun depan. Sejalan dengan proyeksi tersebut, defisit neraca transaksi berjalan akan berada di kisaran 2,8 persen dan menyentuh 2,4 persen pada 2016. Berdasarkan prospek positif sejumlah indikator makroekonomi, ADB meyakini kredit domestik Indonesia akan tumbuh 15 persen pada tahun ini. Kenaikan kredit seiring dengan tingkat suku bunga yang diyakini akan melandai sepanjang 2015.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development - OECD) melakukan review terhadap regulasi dan kebijakan di Indonesia. Hasilnya, lembaga yang berpusat di Prancis itu menyebutkan bahwa koordinasi antarinstansi pemerintah masih kurang sehingga kerap menghasilkan regulasi yang tumpang tindih.
Analis kebijakan OECD, James Sheppard, mengatakan koordinasi seolah menjadi barang mahal dalam pembuatan peraturan sehingga satu peraturan dengan peraturan lain saling tumpang tindih. Aturan yang dibuat daerah acap kali menabrak peraturan yang lebih tinggi. "Selain itu, di Indonesia belum ada lembaga yang secara khusus mempunyai fungsi formal mereview regulasi," katanya dalam sebuah diskusi di kantor Bappenas, Jakarta, Rabu, 25 Maret 2015.
Menurut Sheppard, lembaga khusus yang bertugas melakukan kajian terhadap kebijakan pemerintah ini sudah banyak ada di negara-negara lain. Korea Selatan misalnya, memiliki Komite Reformasi Regulasi (Regulatory Reform Commitee/RRC) yang berkedudukan langsung di bawah Presiden.
Min Sup Song, analis kebijakan OECD yang berasal dari Cina, mengatakan RRC dibentuk sejak 1998. Komite ini beranggotakan 23 orang yang separuhnya berasal dari kalangan swasta. "Lembaga ini berwenang memperbaiki atau bahkan menghapus sebuah regulasi bila memang dianggap perlu," kata Song dalam kesempatan yang sama.
Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Diani Sadiawati, mengatakan reformasi birokrasi untuk dapat menghasilkan regulasi yang efektif. Namun, hal itu diakuinya belum sepenuhnya berhasil.
Ia mencontohkan, tak ada seorangpun di sini yang tahu berapa jumlah produk perundang-undangan yang dihasilkan selama Republik ini berdiri. "Tapi kita terus bergerak untuk perbaikan," ujarnya. Organisation for Economic Co-operation and Development memuji Presiden Joko Widodo yang menghapus subsidi bahan bakar minyak jenis Premium. Kebijakan ini dinilai sebagai usaha penyehatan fiskal yang membuat Indonesia punya ruang lebih untuk membangun infrastruktur.
Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria mengatakan kebijakan tersebut memang sulit diterima masyarakat karena tak populer. Namun dia menyebut reformasi ekonomi diperlukan untuk bersaing dengan negara lain di Asia Tenggara. "Ini perlu dilakukan setelah berhasil keluar dari krisis ekonomi beberapa tahun lalu," ujarnya dalam Launching The 4th OECD Economic Survey dan Education Policy Review of Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu, 25 Maret 2015.
Gurria menilai pembangunan infrastruktur sangat penting bagi Indonesia karena ukuran pemerintahannya sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Kondisi ini berbeda dengan negara rekan OECD lain yang justru terlampau besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.
Dia menyarankan Indonesia juga membuat kebijakan terkait dengan hilirisasi industri, menarik investasi swasta, dan melakukan beberapa kebijakan agar bonus demografi yang dimiliki Indonesia tak sia-sia. Kualitas pendidikan adalah hal pertama yang disebutkan Gurria. Dia menuturkan kesenjangan pendidikan antara Indonesia dan negara-negara rekanan OECD sangat jauh. "Kualitas guru juga harus diperhatikan," ucapnya.
Pemerintah, kata dia, wajib berpartisipasi dalam peningkatan kualitas pendidikan dengan melakukan sosialisasi ke semua penduduk. Musababnya, banyak generasi muda yang putus sekolah karena kurang dorongan dari orang tuanya dan kekurangan gizi.
Gurria juga menyinggung soal penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai prioritas. Perhatian Indonesia terhadap pemberantasan korupsi selama ini, tutur dia, akan menunjang pembangunan dengan sangat baik.
Gurria menilai pembangunan infrastruktur sangat penting bagi Indonesia karena ukuran pemerintahannya sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Kondisi ini berbeda dengan negara rekan OECD lain yang justru terlampau besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.
Dia menyarankan Indonesia juga membuat kebijakan terkait dengan hilirisasi industri, menarik investasi swasta, dan melakukan beberapa kebijakan agar bonus demografi yang dimiliki Indonesia tak sia-sia. Kualitas pendidikan adalah hal pertama yang disebutkan Gurria. Dia menuturkan kesenjangan pendidikan antara Indonesia dan negara-negara rekanan OECD sangat jauh. "Kualitas guru juga harus diperhatikan," ucapnya.
Pemerintah, kata dia, wajib berpartisipasi dalam peningkatan kualitas pendidikan dengan melakukan sosialisasi ke semua penduduk. Musababnya, banyak generasi muda yang putus sekolah karena kurang dorongan dari orang tuanya dan kekurangan gizi.
Gurria juga menyinggung soal penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai prioritas. Perhatian Indonesia terhadap pemberantasan korupsi selama ini, tutur dia, akan menunjang pembangunan dengan sangat baik.
No comments:
Post a Comment