Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menilai tanaman tembakau bisa menjadi alternatif petani kala menghadapi musim kemarau berkepanjangan akibat pengaruh El Nino. Selain memiliki nilai keekonomisan yang tinggi, karakteristik tembakau yang tidak membutuhkan banyak air menjadi keunggulan tanaman tersebut. "Kalau musim kemarau tidak bisa tanam apa-apa, tembakau bisa jadi alternatif ketika tanaman lain tidak bisa ditanam," kata Ketua Umum AMTI Budidoyo ketika ditemui di Rembang, Jawa Tengah, Sabtu (22/8).
Budidoyo menjelaskan penanaman tembakau dimulai saat musim peralihan antara musim penghujan dan kemarau dan berakhir hingga masa peralihan ke musim penghujan. Selama periode tanam itu, daun tembakau dari satu tanaman tembakau bisa dipanen lima hingga tujuh kali. Apabila dikelola dengan benar dan didukung oleh cuaca yang bagus, produksi per hektar lahan rata-rata bisa mencapai lebih dari 1 ton.
Menilik data AMTI, luas areal lahan tembakau nasional pada 2015 diprediksi mencapai 237,25 ribu hektare atau naik 15 persen dari proyeksi 2014 yang hanya mencapai 206,30 hektare. Sebagian besar tanaman tembakau sampai saat ini masih berada di Pulau Jawa. Sementara itu, lanjut Budi, jumlah produksi tembakau tahun ini diperkirakan kurang dari 200 ribu ton atau lebih kecil dibandingkan kebutuhan tembakau domestik yang ada di kisaran 300 ribu ton per tahun. Dengan demikian, masih ada ruang bagi petani lokal untuk mengisi kebutuhan industri akan tembakau yang selama ini dipenuhi dengan cara impor.
Diwawancara terpisah, Winarso, petani tembakau asal Desa Selopuro Kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, mengungkapkan kualitas daun tembakau akan lebih baik apabila cuaca panas atau curah hujannya rendah. Meskipun, tanaman ini juga masih membutuhkan air. “Kalau tanam tembakau untungnya kalau cuaca seperti gini (kemarau), makin banyak panas, kualitasnya makin bagus,” kata Winarso. Selain itu, kualitas pengeringan tembakau juga menjadi lebih bagus karena mendapatkan panas dari sinar matahari yang cukup.
Tak ayal, alih-alih mengadu peruntungan dengan menanam padi dan palawija di lahan miliknya, Winarso lebih memilih menanam tembakau kala musim kemarau tiba. Dengan menanam tembakau, Winarso bisa mengantongi keuntungan bersih hingga Rp 50 juta per hektare. “Biaya produksi lahan tembakau sekitar Rp 20 juta-an per hektare. Sedangkan pendapatan setiap petani berbeda, kalau saya sekitar Rp 70 juta-an per hektare,” kata Winarso.
Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mendorong petani tembakau di Indonesia untuk mengikuti program kemitraan dengan pemasok atau pabrikan. Hal itu merupakan salah satu satu upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian tembakau Indonesia yang saat ini belum mencapai kapasitas maksimal.
Ketua Umum AMTI Budidoyo menuturkan terdapat beberapa masalah dalam pertanian tembakau di Tanah Air diantaranya minimnya akses pasar secara langsung oleh petani, keterbatasan modal, teknik pertanian tradisional yang tidak efisien, serta kurangnya dukungan teknis dan infrastruktur pertanian.
Akibatnya, produktivitas tembakau nasional berada jauh di bawah permintaan pasar. Menilik data tahun 2013 total hasil panen tembakau hanya mencapai 189.600 ton, sedangkan permintaan pasar di tahun yang sama mencapai 315.000 ton.
“Modal kemitraan ini coba kita dorong untuk digalakkan karena dengan membudidayakan tembakau yang baik maka akan mendapatkan produkstivitas yang baik terus kualitas tembakau yang baik. Di samping itu, mereka (petani) juga akan mendapatkan kepastian pasar yang baik,“ tutur Budidoyo, ditemui di lahan pertanian tembakau di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Sabtu (23/8).
Dalam program kemitraan , lanjut Budidoyo, para petani juga mendapatkan edukasi bercocok tanam yang baik melalui pendampingan dari pemasok serta akses terhadap teknik pertanian modern yang dapat meningkatkan efisensi produksi.
Salah satu daerah yang berhasil menjalan program kemitraan antara petani dan pemasok/pabrikan adalah para petani tembakau di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Di daerah ini, sebagian besar petani tembakau bermitra dengan PT Sadhana Arifnusa (Sadhana) selaku pemasok daun tembakau PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk melalui program Sistem Produksi Terintegrasi (Integrated Production System/ IPS).
Ditemui di tempat yang sama, Suharto selaku perwakilan dari Sadhana menyebutkan program IPS pertanian tembakau di Rembang telah berjalan selama lima tahun. Program ini dijalankan melalui kontrak kerjasama antara pemasok daun tembakau dengan sekitar 6.400 mitra petani tembakau yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani di Rembang.
Dalam kerjasama ini, para petani mendapatkan pendampingan pertanian, akses permodalan, sarana dan prasarana pertanian, serta jaminan akses pasar yang sangat diperlukan oleh petani. “Petani yang kita rekrut menyiapkan lahan sama pekerjaannya kemudian Sadhana nanti membantu menyiapkan sarana produksi tanaman (saprodi) misalnya ada pupuk, ada pestisida, benih kita berikan di awal,” kata Suharto.
Petani tembakau juga mendapatkan informasi dan bimbingan mengenai Praktik Pertanian yang Baik (Good Agricultural Practices/GAP) untuk meningkatkan kualitas, efisiensi, produktivitas, serta penghasilan yang diterima dari panen tembakau. Setelah daun tembakau dipanen, petani menjual produknya ke Sadhana dengan harga jual sesuai kualitas daun tembakau tersebut.
“Jadi Sadhana membantu menyiapkan Saprodi, setelah petani menjual (daun tembakau), dia hanya mengembalikan piutang saprodinya selebihnya untuk petani,” ujarnya. Selain di kota Rembang, program IPS juga diterapkan di beberapa daerah tembakau lainnya seperti Lombok, Wonogiri, Malang, Jember, Blitar, dan Lumajang. Adanya program ini membuat kesejahteraan para petani di Rembang juga membaik. Salah satu petani yang merasakan manfaat dari program ini adalah Winarso, petani tembakau asal Desa Selopuro Kecamatan Lasem, Rembang. Winarso mengaku telah bergabung menjadi mitra Sadhana sejak tahun 2012. Awalnya, Winarso hanya mengelola 1 hektare lahan, sekarang sudah 2 hektare.
“Biaya produksi lahan tembakau sekitar Rp 20 juta-an per hektare. Sedangkan pendapatan setiap petani berbeda, kalau saya sekitar Rp 70juta-an per hektare,” kata Winarso. Sebelum menjadi mitra Sadhana, lahan pertanian Winarso hanya ditanami padi dan palawija. Ketika musim kemarau datang atau bulan kritis (Mei – September), produktivitas lahannya menjadi turun, bahkan menjadi lahan tidur. Dengan membudidayakan tembakau yang tidak membutuhkan banyak air, Winarso bisa mengisi kekosongan lahan selama bulan-bulan kritis di Rembang dengan hasil produksi daun tembakau mencapai sekitar 1,7 ton per hektare.
“Saya sebagai petani kalau ingin dapat uang banyak, saya harus meningkatkan kualitas. Kalau kualitasnya bagus, bobotnya banyak, kita pasti dapat uang banyak,” kata Winarso. Sebagai informasi, berdasarkan Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah nomo: 525.23/001176 tentang Penataan Areal Tenbakau di Jawa Tengah Musim Tanam Tahun 2015,dengan luas tanam tembakau untuk Kabupaten Rembang adalah 2.500 hektare. Berdasarkan catatan Dinas Pertanian dan Kehutanan Rembang, hampir seluruh lahan tersebut dikelola oleh petani program kemitraan dengan Sadhana
No comments:
Post a Comment