Wednesday, August 5, 2015

Laba Amblas 49,55 Persen ... Pertamina Buang Salah Pada Pemerintahan Jokowi

PT Pertamina (Persero) mengalami penurunan laba pada semester I tahun ini sebesar 49,55 persen dari angka US$ 1,13 miliar pada tahun lalu ke angka US$ 570 juta hingga pertengahan tahun ini. Tidak diubahnya harga jual bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar oleh pemerintah sejak 28 Maret 2015 disebut menjadi penyebab utama amblasnya laba bersih tersebut.

Sejak akhir bulan ketiga tersebut, pemerintah memang tidak lagi melakukan penyesuaian harga jual BBM penugasan dan bersubsidi yang didistribusikan oleh Pertamina. Harga BBM jenis premium RON 88 tetap Rp 7.300 per liter, solar, dan harga minyak tanah juga dinyatakan tetap Rp 2.500 per liter. Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan bahwa harga premium yang ditetapkan pemerintah jauh lebih rendah dibandingkan harga keekonomian yang dihitung menggunakan formula Pertamina. Hal tersebut menjadi penghambat utama perusahaan dalam meraih laba lebih tinggi lagi. Selain itu, Dwi juga menyebut rendahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga membebani beban usaha perusahaan.

"Sisi hilir minyak kerap menggerus laba usaha karena harga jual yang ditetapkan pemerintah kini tidak mengikuti formula lagi. Pemerintah ternyata tidak serta merta mengikuti harga minyak dunia dan itu menghambat kinerja kami," terang Dwi di Jakarta, Rabu (5/8).

Mantan bos PT Semen Indonesia Tbk itu menambahkan bahwa hal itu terlihat dari penurunan pendapatan Pertamina dari angka US$ 36,74 miliar pada semester I tahun lalu ke angka US$ 21,79 miliar pada periode yang sama tahun ini. Kendati pendapatan berkurang 40,69 persen, tapi beban usaha juga ikut berkurang dari US$ 34,22 miliar ke angka US$ 20,22 miliar di semester I tahun ini. Itu pun karena Pertamina melakukan sejumlah langkah penghematan kegiatan operasional dan pemasaran.

Melengkapi ucapan Dwi, Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang mengatakan bahwa perseroan hanya memperoleh untung dari penjualan premium antara bulan Januari hingga Maret karena harga yang berlaku di pasaran saat itu melebihi harga yang dihitung Pertamina. Sebagai informasi, pada akhir Januari lalu, harga penetapan pemerintah sebesar Rp 8.200 per liter sedangkan harga formula Pertamina sebesar Rp 6.750 per liter dan kemudian turun lagi menjadi Rp 6.400 per liter pada bulan Februari. Keputusan pemerintah untuk tidak mengubah harga setelahnya, membuat Pertamina harus menanggung rugi dari penugasan penjualan BBM jenis premium.

"Dalam semester I tahun ini, kira-kira kita rugi hampir Rp 12 triliun. Dengan selisih harga sebesar Rp 1.000 antara harga formula kami dengan harga penetapan pemerintah, dan dengan konsumsi premium sebanyak 80 ribu kilo liter (KL) per hari, kami menghitung ada kerugian sebesar Rp 80 miliar seharinya," ucap Ahmad.

Kendati demikian, Ahmad tak bisa memprediksi kerugian yang akan dialami perusahaan pada semester II jika keadaan tak semakin membaik kedepannya. Alasannya, perusahaan tak bisa dengan mudah memprediksi harga minyak dan juga nilai tukar rupiah terhadap dolar kedepannya.  "Jika masih ada penurunan seperti itu, maka kemungkinan akan berpengaruh ke dividen yang nantinya dibayarkan ke pemerintah juga," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengatakan bahwa sebenarnya pendapatan sebelum pajak, bunga, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) perusahaan seharusnya bisa mencapai US$ 3,32 miliar, atau lebih tinggi 43 persen dari realisasi posisi semester I 2015 yang sebesar US$ 2,32 jika harga penetapan pemerintah mengikuti harga formula Pertamina. "Kalau nantinya keadaan tak berubah, dari sisi keuangan akan kami lakukan efisiensi dari segi beban, baik itu beban usaha maupun beban pokok," jelas Arief.

Sebagai informasi, angka realisasi EBITDA pada semester I ini lebih rendah sebesar 26,81 persen dibanding tahun sebelumnya, dimana perusahaan membukukan EBITDA sebesar US$ 3,17 miliar pada semester I tahun lalu ke angka US$ 2,32 miliar pada tahun ini. Jika Pertamina bisa membukukan US$ 3,22 miliar pada semester I tahun ini, maka Pertamina seharusnya bisa mengalami kenaikan EBITDA sebesar 1,57 persen

No comments:

Post a Comment