Bagi pasangan muda, memiliki rumah sendiri merupakan prioritas utama dalam hidup mereka. Namun, kini harga rumah makin mahal bahkan harganya sudah tak masuk akal sehingga bikin pusing. Hal ini dialami oleh Irwanto, seorang pegawai swasta bergaji Rp 5 juta/bulan. "Kadang-kadang kalau kita hitung antara gaji yang kita dapat dengan harga rumah itu nggak masuk. Memang semakin nggak masuk akal untuk kantong kita," ujar Irwanto, seorang pengujung BTNExpo (15-23 Agustus 2015) di JCC, Jakarta, Minggu (16/8/2015).
Ia yang saat itu hadir bersama istrinya Mira, mengaku telah berkeliling ke sejumlah stand pameran di acara tersebut. Hasilnya mendapati harga rumah dengan cicilan yang menurutnya masih berat untuk pekerja dengan penghasilan Rp 5 juta/bulan. "Ada rumah kecil tapi harganya Rp 500 jutaan. Cicil 15 tahun dengan KPR tadi dihitung Rp 2,7 jutaan/bulan. Itu kita harus bayar DP dulu lagi Rp 50 juta dulu. Sekarang gaji Rp 5 juta, cicil rumah Rp 2,7 juta, berarti sisa cuma Rp 2,3-2,2 juta. buat hari-hari itu berat," keluhnya.
Ia menambahkan peluang dirinya lolos dari proses fasilitas Kredit Pembiayaan Rumah (KPR) perbankan juga kecil, karena ada aturan perbankan yang mewajibkan besarnya cicilan harus sepertiga pendapatan. Artinya, dengan gaji Rp 5 juta maka Irwanto hanya bisa mengajukan KPR bila cicilan perbulannya tak lebih dari Rp 1,6 juta. "Rp 1,6 juta per bulan kita harus cicil berapa lama. Selain itu kan makin kecil cicilan makin besar DP. Buat kita yang gajinya ngepas, DP Rp 50 juta saja sudah berat, apa lagi lebih tinggi," katanya.
Sementara itu Ridha, seorang pengunjung acara BTNExpo di JCC lainnya bernasib sama dengan Irwanto. Menurutnya mencari rumah ibarat menemukan pasangan hidup. "Saya cari rumah subsidi. Banyak infonya saya dapat, tapi lokasinya jauh-jauh. Ada yang tawarin di Gunung Putri. Saya kerja di Jakarta. Rumah murah, tapi ongkos mahal. Seperti cari jodoh, nggak gampang" ungkap Ridha
Ia pun mengutarakan dirinya sangat berminat untuk mendapat rumah subsidi. Karena, dengan gajinya yang hanya Rp 3,5 juta, sangat sulit memperoleh rumah dengan harga komersial. Ridha pun mengharapkan, pada pameran hari ini bisa mendapat rumah dengan harga yang terjangkau meskipun tanpa subsidi. "Cari yang subsidi pastinya nggak gampang. Makanya hari ini saya ke sini cari rumah yang murah-murah saja lah. Mudah-mudahan dapat," tutur pria yang tinggal di Ciracas, Jakarta Timur ini.
Menurutnya, dengan gajinya saat ini, rumah yang ideal adalah yang memiliki harga Rp 150-200 jutaan. "Itu itungan waktu saya beberapa kali dateng ke pameran. Katanya kalau mau yang terjangkau yang DP bisa 10%, cicilannya nggak lebih dari Rp 1 juta per bulan. Siap tahu saya dapat hari ini," pungkasnya. Harga rata-rata rumah di pinggir Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek) kini minimal dalam rentang Rp 300-400 juta/unit. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah sulit untuk menjangkaunya, harga rumah ini hanya bisa dijangkau oleh kalangan menengah 'tanggung'.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan kaum menengah setingkat manajer dengan penghasilan Rp 5 – 7 juta per bulan pun sulit untuk membeli rumah di Bodetabek. "Dengan penghasilan tersebut, mereka diperkirakan mempunyai daya cicil Rp 1,5 – 2,5 juta per bulan yang berarti dapat membeli rumah dengan harga Rp 300-400 juta," kata Ali dikutip dari situs resminya, Minggu (18/1/2015)
Menurut Ali daya beli ini belum termasuk kemampuan uang muka yang umumnya menjadi salah satu faktor penghambat untuk dapat merealisasikan pembelian rumahnya. Umumnya mereka juga kesulitan juga untuk mengumpulkan uang muka. Uang muka minimal saat ini sedikitnya 20% atau kurang lebih Rp 60-80 juta.
Ali mengatakan dengan harga rumah seperti itu, maka tentunya akan sulit bagi seseorang di bawah segmen tersebut. Namun bagi yang mampu mencicil, tentunya mereka harus memperhitungkan biaya transportasi setiap harinya untuk bekerja ke Jakarta dari Bodetabek. "Lokasi rumah tersebut mempunyai jarak tempuh yang jauh dari tempat mereka kerja di Jakarta. Yang terjadi kemudian adalah mereka tidak menempati rumah yang ada dan dibiarkan kosong dan kembali menyewa hunian di Jakarta," katanya.
Ia menambahkan dengan harga rumah yang semakin mahal, kaum masyarakat berpenghasilan 'tanggung' bisa tidak dapat membeli rumah lagi meskipun di pinggiran Jakarta. Bila ingin tinggal di Jakarta maka pilihannya membeli rumah susun milik (rusunami) yang harganya tinggi, sehingga opsinya adalah menyewa hunian di rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di pusat kota
Seperti diketahui dalam skema pembelian rumah subsidi (FLPP), calon nasabah yang berhak mendapat rumah subsidi adalah maksimal bergaji Rp 4 juta untuk pembeli rumah tapak, dan maksimal Rp 7 juta untuk rumah susun. Jadi bagi yang bergaji Rp 5 juta tak akan bisa membeli rumah subsidi kategori tapak (bukan rusun).
No comments:
Post a Comment