Jadi, misalnya inflasi 2015 itu sebesar 5%, dan pertumbuhan ekonomi juga 5%. Maka UMP tahun 2016 adalah UMP saat ini ditambah 10%. "Nanti tahun depannya lagi hitungnya sama, inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Dihitung lagi dengan UMP tahun 2016," ujarnya. Darmin mengatakan, formula sederhana ini akan berlaku di seluruh Indonesia. Namun ada 8 daerah yang dikecualikan oleh pemerintah.
"Tujuan utama dari penetapan formula ini adalah untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya sambil mensejahterakan buruh yang saat ini sudah punya pekerjaan," katanya. Paket kebijakan ekonomi jilid IV baru saja diumumkan. Pemerintah pimpinan Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan formula baru perhitungan kenaikan upah minimum tiap tahun. Sayangnya, buruh menyatakan tidak puas dengan dikeluarkannya kebijakan ini. Rumusan tersebut dinilai belum mengakomodir rumusan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang menjadi acuan upah minimum.
"Pertama yang harus dibenahi bukan kenaikan tiap tahun. Lebih dulu harus merevisi komponen KHL (Kebutuhan Hidup Layak). UMP (Upah Minium Provinsi) kita jelas-jelas tertinggal dari negara tetangga. Tiga poin utama KHL belum memenuhi standar yaitu tempat tinggal, transportasi, dan makan," ungkap Muhamad Rusdi, Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Buruh, kata Rusdi, akan menolak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) terkait pengupahan kalau hanya menentukan formula kenaikan upah setiap tahun. "Kalau hanya menentukan kenaikan tiap tahun yaitu UMP ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi, kita menolak," tegasnya.
PP tersebut menurutnya membatasi upah buruh yang memang sudah jauh tertinggal dari negara lain. "Di negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand saja sudah Rp 4 juta. Kita harus kejar ketertinggalan itu dulu," tambahnya. Formula kenaikan upah, kata Rusdi, kalau dihitung dari inflasi 5% ditambah pertumbuhan ekonomi 4,7% itu artinya setiap tahun naik tidak sampai 10%.
"Naik nggak sampai 10%. Paling tinggi Rp 200-300 ribu naiknya kalau UMP Rp 2-3 juta. Apalagi Jawa Tengah, UMP hanya Rp 1,2 juta, berarti kenaikan upah tiap tahun hanya Rp 100 ribu. Itu kecil sekali. Nggak akan ngejar," katanya. PP pengupahan menurutnya hanya mengakomodir kepentingan pengusaha. "Buruh kerja tapi penghasilannya sangat terbatas. PP Pengupahan hanya memenuhi kepentingan pengusaha yang ingin mendapat upah murah," jelasnya.
Rusdi menjelaskan, pemerintah mestinya fokus pada revisi KHL terlebih dahulu. "Komponen KHL yang harus direvisi contohnya pertama komponen biaya rumah. Di beberapa daerah besarannya hanya Rp 300-400 ribu. Padahal kenyataannya cicilan rumah nggak ada yang segitu. Riilnya Rp 700.000 sampai Rp 1 juta per bulan," terangnya.
Kedua, kata Rusdi, yaitu biaya transportasi. Selama ini biaya transportasi hanya dihitung satu kali jalan. "Padahal pulang pergi bisa 2 kali ganti kendaraan. Misal dari bis ke angkot atau ojek. Itu besarannya hanya Rp 200-300 ribu. Mestinya dua kali kipat karena biaya pulang belum dihitung. Jadinya Rp 500-600 ribu," tuturnya.
Ketiga, lanjutnya, yaitu uang makan. "Kebutuhan hidup layak kalau di Jabodetabek itu kan pagi buruh makan nasi uduk atau bubur Rp 15.000. Lalu siang makan gado—gado, warteg atau nasi padang Rp 15.000. Kemudian malam nasi goreng Rp 15.000. Itu sehari Rp 45.000 dikalikan 30 hari sudah Rp 1,35 juta," paparnya.
Biaya tempat tinggal, makan dan transportasi dijumlahkan minimal Rp 2,9 juta. Itu pun belum termasuk kesehatan, pendidikan, sandang dan lainnya. "Lalu apakah terpikir bagaimana menaikkan UMP Jateng yang hanya Rp 1,2 juta?" imbuhnya. Komponen yang belum masuk dalam KHL dan semestinya masuk, Rudi menjelaskan seperti kebutuhan sandang yaitu kaos, alas kaki, dan jaket, sampai minyak wangi.
Singkatnya, menurut Rusdi, jika ingin menyejahterakan buruh, KHL harus direvisi dan besaran kenaikan diubah. "Awalan kenaikan upah Jabodetabek, Karawang dan Purwakarta minimal naik 22% dan Jateng harus bersaing sampai minimal Rp 3 juta atau naik hampir 300%. Buruh ini urat nadi industri. Kami sudah bicara ke Menaker pun tidak direspon," pungkasnya. Salah satu isi paket kebijakan Jokowi jilid IV adalah rumus baru penetapan upah minimum provinsi (UMP) buruh. Lewat mekanisme ini, UMP tahun selanjutnya akan diumumkan tiap bulan November.
Menko Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, komponen dari mekanisme tersebut juga mengikuti periode pengumuman. Untuk inflasi akan dihitung periode Januari-September, sementara untuk pertumbuhan ekonomi akan dihitung dari periode kuartal I-II tahun berjalan ditambah kuartal III-IV tahun sebelumnya. Lihat rumus barunya di sini. "Pertumbuhan ekonomi kuartal III plus IV tahun lalu, plus kuartal I dan II tahun ini. Oke. Betul (November)," ungkap Darmin di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (15/10/2015)
Komponen inflasi dan pertumbuhan yang digunakan adalah perhitungan secara nasional. Ini untuk menyelamatkan provinsi dengan tingkat perekonomian rendah. "Indikator nasional itu karena ada daerah yang pertumbuhannya negatif, kashian sekali dia. Jadi ya sudah lah kita take and give saja satu sama lain, kita pakai nasional. Ada beberapa daerah provinsi yang perumbuhan tahun ini itu negatif," jelasnya
Misalnya, kata Darmin adalah Kalimantan Timur, Riau, dan daerah-daerah yang berbasis pertambangan dan perkebunan yang sekarang tengah dilanda penurunan harga komoditas. Bila harus memaksakan dengan pertumbuhan ekonomi provinsi, maka akan merugikan para buruh. "Tapi pertumbuhan negatif itu tidak berarti seluruh kegiatan ekonominya negatif, itu umumnya karena daerah mana saja yang negatif, Kaltim , Riau dan semua daerah yang pertambangannya dominan pertumbuhannya negatif. tahun lalu dan tahun ini," paparnya.
No comments:
Post a Comment