Thursday, October 15, 2015

Guyuran Pinjaman Dari China Senilai Rp. 42 Triliun Ke BUMN Terbukti Mampu Perkuat Rupiah Ke Level Rp. 13.200

Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) akhirnya bisa balik ke kisaran Rp 13.000-an. Salah satu penyebabnya adalah, pinjaman dari China yang mulai masuk ke dalam negeri. Tiga bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebelumnya sudah menandatangani perjanjian kredit dengan Bank Pembangunan China (China Development Bank/CBD) senilai US$ 3 miliar atau sekitar Rp 39 triliun dengan kurs Rp 13.000.

Sebelumnya, utang ini nilainya Rp 42 triliun ketika kurs dolar AS berada di Rp 14.000-an. Tiga bank BUMN tersebut adalah PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Direktur Direktur Bisnis Banking II BNI, Sutanto mengatakan, pinjaman tersebut sudah masuk ke Indonesia tak lama setelah perjanjian kerja sama dilakukan. Menurutnya, penguatan rupiah tidak hanya dipengaruhi satu faktor saja.

"Itu kan supply and demand, ada faktor lain. Mungkin bisa juga dan bisa jadi karena itu (pinjaman China)," katanya, ditemui di kantornya usai MoU dengan PT Permodalan Nasional Madani (PNM), Senin (12/10/2015). Selain itu, menurut Sutanto, ekonomi Indonesia juga mengalami perbaikan ditambah dengan daya beli yang meningkat. Faktor-faktor itu juga yang membantu penguatan rupiah terhadap dolar AS

"Tapi paling tidak Indonesia memang ada perbaikan fundamental dan daya beli masyarakat meningkat. Itu paling tidak ada uang yang masuk, misalkan satu kontraktor menggarap proyek tertentu, kan ada tenaga kerjanya, ada uangnya," ujarnya. Jadi memang pinjaman dari China itu salah satu yang menguatkan rupiah? "Secara global memang ada pengaruhnya," ungkapnya.

Pinjaman tersebut sifatnya Business to Business (B to B) tanpa melibatkan pemerintah. Kementerian BUMN pun sudah menyatakan, tidak ada udang di balik batu dalam pinjaman dari China ini. Dua pekan lalu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, membawa Direktur Utama dari 3 bank BUMN ke Beijing, China. Rombongan Indonesia saat itu menandatangani perjanjian utang dengan Bank Pembangunan China (China Development Bank/CBD).

Menurut Deputi Bidang Jasa Keuangan Kementerian BUMN Gatot Trihargo, pinjaman US$ 3 miliar (Rp 42 triliun) yang diberikan China kepada PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) itu ditujukan untuk program pembiayaan infrastruktur dan perdagangan ekspor.

"Seperti Bapak dan Ibu ketahui, bahwa ada kunjungan resmi Bapak Jokowi (Presiden Joko Widodo) ke Jepang dan Tiongkok pada tanggal 26-28 Maret 2014, dan di dalam kunjungan tersebut ada beberapa MOU yang ditandatangani saat itu meliputi keuangan, industri infrastruktur dan sebagainya," katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, di gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (29/9/2015).

Ia mengatakan, dari hasil MoU tersebut maka empat hari kemudian saat rapat kabinet paripurna di Jakarta, Jokowi memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian saat itu, Sofyan Djalil dan Rini untuk menindaklanjuti dua MoU antara kedua pemerintah. "Dalam waktu 3 kali kunjungan ibu menteri (Rini) ke Beijing yaitu Maret, Juni, dan September setelah dilakukan pembicaraan berkali-kali, maka pada tanggal 16 September, disepakati untuk memberikan pinjaman lunak kepada 3 bank BUMN masing-masing US$ 1 miliar," katanya.

Pinjaman tersebut, kata Gatot, sifatnya adalah business to business (B to B) alias antar bank tanpa melibatkan pemerintah. Yang melakukan tanda tangan adalah direktur utama masing-masing bank dengan pihak bank China. "Ibu Rini menyaksikan penandatangan tersebut di Beijing, kemudian dana yang ada 70% dalam denominasi dolar AS dan 30% denominasi renminbi. Nanti secara detil masalah bunga dan tenor 10 tahun, akan dijelaskan secara detil oleh bank-bank tersebut. Negosiasi antara CDB dan bank-bank dilakukan mereka dan kami hanya memantau tindak lanjut negosiasi tersebut," ujar Gatot.

Pada kesempatan yang sama Gatot juga menyampaikan posisi utang bank-bank pelat merah hingga akhir Juli 2015. Porsi utang luar negeri BUMN hanya 10,4% dari total, nah 1,3% di antaranya adalah milik bank BUMN. "Kalau dari pemberi utang luar negeri yang ada, maka komposisi yang pertama adalah Singapura menduduki 5 besar sebagai pemberi pinjaman, kemudian Jepang, yang ketiga Amerika, Belanda, terakhir China. Dengan adanya dana masuk US$ 3 miliar, ini adalah sinyal positif bagi pemerintah bisa meningkatkan cadangan devisa yang mencapai US$ 103 miliar," jelasnya.


Komisi VI DPR menyoroti pinjaman yang diberikan Bank Pembangunan China (China Development Bank/CBD) kepada tiga bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pinjaman ini dikhawatirkan menjadi pintu masuk bagi China menguasai perusahaan pelat merah. Anggota DPR komisi VI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Iskandar D. Syaichu, mengatakan menyampaikan hal tersebut saat rapat dengan pendapat (RDP) Komisi VI bersama Kementerian BUMN dan BUMN terkait, di gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (29/9/2015).

Tiga bank yang dimaksud adalah PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Para direktur utama (dirut) bank-bank tersebut ikut hadir dalam rapat. "Tiga bank ini bukan instrumen tukar guling saham China? Karena publik di luar pun menilai ini jadi salah satu skenario privatisasi tiga bank yang sangat sehat dan saya yakin kondisi dunia hari ini kita tidak akan bisa mendapatkan pinjaman dari negara mana pun. Saya ingin jaminan bahwa ini bukan pintu China menguasai saham-saham tiga bank ini," katanya.

Menjawab tuduhan tersebut, Deputi Bidang Jasa Keuangan Kementerian BUMN Gatot Trihargo, menyatakan utang tersebut tidak ada hubungannya dengan saham perusahaan pelat merah. "Kita komitmen tidak akan gadaikan negeri ini. Bapak-bapak dirut yang ada di sini hatinya ke merah putih Pak. Jadi tidak ada yang digadaikan. Tidak ada tekanan sama sekali dalam negosiasi. Justru harus kita pandang sebagai kepercayaan negara dunia kepada Indonesia di saat kondisi ekonomi dunia tidak membaik. Tidak ada yang kita jaminkan," kata Gatot.

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dwie Aroem Hadiatie, ikut bertanya soal kebutuhan modal BUMN dan rencana tambahan modal melalui Penyertaan Modal Negara (PMN). "Saat ini berlangsung BUMN-BUMN mengajukan PMN. Di mana PMN itu menyedot uang negara triliunan. Apa jumlah tersebut itu tidak memenuhi pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan sehingga harus meminjam (dari China)?" Tanya Dwie.

"Kita terima kasih sekali kepada pimpinan dan bapak ibu sekalian karena telah memberikan PMN. Dana itu akan masuk sebagai ekuitas BUMN, dan nantinya akan meminjam kepada perbankan. Jadi komposisinya itu 30-70, 70 dari perbankan dan 30 dari BUMN," jawab Gatot. "Yang pasti memang 5 tahun ke depan di RJPP kalau kita lihat pendanaan infrastruktur sangat luar biasa, berarti ada gap yang harus diisi sebesar Rp 335 triliun. Oleh karena itu, Ibu Menteri (BUMN) sudah menyetujui muatan pinjaman untuk meningkatkan infrastruktur dan pinjaman jangka panjang selama 10 tahun. Jadi sangat match dengan proyek infratruktur yang ada, jadi tidak missmatch," tambah Gatot.

No comments:

Post a Comment