Jawa Timur adalah daerah produsen ikan lele terbanyak se-Indonesia. Produksi lele dihasilkan dari budidaya, bahkan ada pembudidaya yang mengekspor ke Eropa dan Amerika Serikat (AS). "Selain dikonsumsi untuk konsumen lokal, ikan lele dari Jawa Timur juga ada yang diekspor sampai ke manca negara," kata Kepala Dinas Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur, Heru Tjahjono, Sabtu (31/10/2015).
Heru mengatakan, hampir di semua kabupaten dan kota di Jawa Timur ada pembudidaya ikan lele. Namun, sebaran yang terbesar yakni di daerah Kabupaten Tulungagung, Madiun, Jombang, Malang, Mojokerto, Ponorogo, Trenggalek, Bojonegoro, Magetan, Lumajang, Bangkalan, dan Pasuruan.
Jumlah produksi lele juga terus mengalami kenaikan dalam kurun waktu selama tiga tahun terakhir. Pada 2012, jumlah produksi ikan lele mencapai 62.807 ton. Di 2013, meningkat menjadi 79.927,5 ton. Sedangkan di 2014, produksi ikan lele menembus angka 96.830,1 ton. Pembudidaya lele di Jawa Timur mencapai sekitar 46 ribu orang.
"Yang diekspor sekitar 2 ribu ton atau senilai sekitar 6 juta dolar Amerika. Yang lainnya dikonsumsi di dalam negeri. Sedangkan tujuan negara ekspor seperti Italia, Prancis, Korea, Jepang," tuturnya. Produksi lele yang dikonsumsi dalam negeri ukurannya 8-10 ekor per kilogram. Sedangkan yang diekspor dalam bentuk utuh, tanpa insang, tanpa isi perut dan tanpa sisik. Karena nantinya lele tersebut akan diambil dagingnya dan diolah.
Namun, lele yang dieskpor harus memenuhi syarat yang sudah ditentukan oleh negara tersebut yakni, ukurannya minimal 600 gram per ekor. Harus memenuhi syarat mutu, bebas Ecoli, salmonella (bakteri), Vibrio. Sedangkan secara kimia, ikan lele kualitas ekspor harus bebas dari logam-logam berat yang berbahaya seperti Pb (timbal), Hg (mercuri), dan unsur tembaga (Cu). Serta bebas dari kotoran.
"Tuntutan pasar global akan produk perikanan budidaya adalah keamanan pangan (food safety). Artinya, hasil perikanan budidaya diharapkan aman untuk dikonsumsi sesuai persyaratan pasar," ujarnya. "Sebagai konsekuensi meningkatnya perdagangan global, produk perikanan budidaya Indonesia harus mempunyai daya saing, baik dalam mutu produk maupun efisensi dalam produksi," jelasnya. Sementara itu, Kabid Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur, Sih Hatin mengatakan, produksi ikan lele sebanyak 96.830,1 ton nilai nominalnya sekitar Rp 1,8 triliun, jika asumsinya Rp 13-14 ribu per kilogram.
"Dari sisi penjualan, ikan lele cukup bagus. Dari sisi gizi, ikan lele juga memiliki gizi yang bagus," tuturnya sambil menambahkan, kandungan ikan lele kaya akan asam lemak omega 3, protein, vitamin B12, kaya akan fosfor (memberi energi dalam metabolisme lemak dan pati, yang dapat menunjang kesehatan gusi dan gigi serta membantu sistesis DNA), membantu kesehatan kardiovaskuler, membuat jantung dan otak sehat.
"Ikan lele baik untuk pembentukan tulang dan gigi, dapat membantu menurunkan tekanan darah. Juga dapat mempercepat proses penyembuhan luka," tandasnya. Di jejaring sosial, banyak beredar informasi yang menyebutkan lele sebagai ikan paling jorok. Dalam sesuap daging ikan lele, terkandung 3.000 sel kanker. Kabar tersebut membuat pembubidaya ikan lele di Jawa Timur (Jatim) menjadi tersinggung dan terpukul.
Julukan sebagai ikan paling jorok merujuk pada sifat lele yang doyan mengonsumsi berbagai jenis limbah di perairan. Bahkan sebuah artikel yang cukup viral di internet menyebutkan kotoran manusia juga dijadikan pakan pada sebuah budidaya lele di Kota Haikou, China.
"Tidak benar berita itu. Kasihan pembudidaya lele, mereka tersinggung dan sangat terpukul dengan pemberitaan itu," ujar Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur, Heru Tjahjono, Sabtu (31/10/2015). Ia mengatakan, kabar yang sebenarnya menggambarkan budidaya lele di Kota Haikou, China tidak sama dengan budidaya lele di Jawa Timur. Kabar tersebut bisa berdampak pada pasar lele di Jawa Timur. Pasalnya, pasar lele adalah konsumen di level II kelas menengah ke bawah. Sedangkan ikan kakap, tuna, tengiri, kerapu di level I kelas menengah ke atas.
Kata Heru, konsumen di level I sulit digoyang dengan isu ikan-ikan yang dikonsumsinya. Berbeda dengan isu pada ikan seperti lele, gurami, mujahir, yang menjadi santapan konsumen level II kelas menengah ke bawah. "Kalau konsumen level I sulit digoyang dengan isu-isu. Berbeda dengan konsumen level II. Kalau ada isu, konsumen level II bisa takut dan tidak mau mengkonsumsi," tuturnya. Heru mengatakan, sudah ada serifikasi Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) serta sertifikasi Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB), yang diterapkan bagi unit usaha pembinihan Untuk di Jawa Timur.
"Dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan nasional dan internasional, dipandang perlu mengatur cara budidaya ikan yang baik," kata Heru.Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan keputusan Nomor KEP.02/MEN/2007 tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik. Untuk di Jatim, dari ribuan budidaya ikan lele, saat ini yang sudah sertifikasi mencapai 266 unit usaha budidaya. Sedangkan pembenihan, ada 20 unit usaha pembenihan yang sudah memiliki sertifikasi CPIB.
"Kita targetkan ada 900 unit usaha seluruh komoditas budidaya di Jawa Timur yang memenuhi sertifikasi," terangnya.Heru menambahkan, pemerintah terus memonitoring unit budidaya dan pembenihan ikan. Data monitoring residu komoditas Lele Tahun 2015 sebanyak 379 sampel. Parameter yang diuji berupa kadar hormon, antibiotik, dan logam berat.Lokasi pengambilan sampel uji monitoring residu komoditas lele meliputi unit budidaya di Kabupaten Lamongan, Sidoarjo, Pasuruan, Gresik, Tulungagung, Jombang, Mojokerto, Kediri, Blitar, Malang, Pamekasan, Magetan, Probolinggo, dan Kota Probolinggo.
"Sampai triwulan ketiga, hasil sampel ikan lele yang sudah diujikan negatif (bebas) dari residu hormon, antibiotik, dan logam berat," tandasnya.
No comments:
Post a Comment