Para pemimpin China pun berusaha untuk meyakinkan pasar global yang tengah gelisah selama berbulan-bulan dengan berupaya meyakinkan bahwa ekonomi negara tetap berada di bawah kontrol. Terutama setelah bank sentral China membuat kebijakan yang mengejutkan terkait devaluasi yuan pada Agustus lalu. Louis Kuijs, Analis Oxford Economics di Hong Kong menyatakan pertumbuhan kuartal III itu merupakan yang terlemah sejak kuartal I 2009 lalu. Ketika itu pertumbuhan ekonomi merosot jatuh ke level 6,2 persen. Namun, para analisis percaya perlambatan China masih akan terjadi secara bertahap.
"Lanjutan tekanan ke bawah dari real estate dan ekspor disebabkan produk domestik (PDB) gross turun menjadi 6,9 persen," kata Kuijs dikutip dari Reuters, Senin (19/10). "Dalam kondisi seperti ini kami berharap langkah-langkah moneter dan fiskal yang lebih bertahap," lanjutnya. Badan Statistik China juga mengeluarkan data produksi pabrik-pabrik di China pada September yang naik 5,7 persen, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Belanja sektor ritel juga tercatat naik 10,9 persen
Perusahaan penyedia jasa konsultasi bisnis dan investasi, Price Waterhouse Coopers (PwC) memprediksi perlambatan ekonomi China yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir akan memberi dampak negatif pada kondisi perekonomian negara-negara berkembang atau emerging market termasuk Indonesia. Ini mengingat dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi China akan membuat pengambil kebijakan seperti pemerintahan Joko WIdodo lebih seksama dalam menganalisa putusan yang ditetapkan. Terlebih ketika Indonesia memiliki hubungan dagang yang cukup besar dengan negara berjuluk 'negeri tirai bambu' tersebut.
“Sebagian negara-negara Asia Tenggara diperkirakan akan lebih rentan dari yang lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok. Hal ini tidaklah mengejutkan, karena selama 15 tahun terakhir ini, regional ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari rantai pasokan produsen Tiongkok," ungkap Irhoan Tanudiredja, Senior Partner PwC Indonesia.
Meski akan berdampak negatif, Irhoan bilang perlambatan ekonomi China diyakini tak akan memberi tekanan seperti krisis parah yang terjadi di medio 1997. Ini lantaran sebagian besar ekonomi Asia Tenggara saat ini telah memiliki penyangga fiskal yang memadai untuk mengehadapi penurunan.
Di kesempatan berbeda, Louis Kuijs, Analis Oxford Economics menyatakan pertumbuhan ekonomi China sepanjang kuartal III 2015 mengalami penurunan menjadi 6,9 persen dibandingkan realisasi kuartal sebelumnya yang menyentuh 7 persen. "Dalam kondisi seperti ini kami berharap langkah-langkah moneter dan fiskal (pemerintah China) yang lebih bertahap," kata Kuijs dikutip dari Reuters, Senin (19/10).
Seperti diketahui, China merupakan pasar ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat (AS) yang kini tengah mengalami perlambatan pertumbuhan akibat sejumlah faktor meliputi pelemahan angka penjualan rumah hingga besarnya hutang pemerintah. Meski begitu, sejumlah pihak meyakini pemerintah China masih dapat mempertahankan angka pertumbuhan ekonomi di kuartal IV sebesar 6,8 hingga 6,9 persen asalkan bank sentral bersedia memotong suku bunga sebesar 25 basis poin, serta menurunkan lagi jumlah cadangan devisa.
Survei terakhir Reuters menunjukkan, syarat tersebut akan menjadi harapan para ekonom yang menilai ekonomi China masih bisa bertahan di angka tersebut sebelum turun lagi menjadi 6,7 persen pada kuartal I 2016. Pemerintah China dinilai bisa mempertahankan angka pertumbuhan ekonomi di kuartal IV sebesar 6,8-6,9 persen asalkan bank sentral bersedia memotong suku bunga sebesar 25 basis poin, serta menurunkan lagi jumlah cadangan devisa.
Perusahaan penyedia jasa konsultasi bisnis dan investasi, Price Waterhouse Coopers (PwC) memprediksi perlambatan ekonomi China yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir akan memberi dampak negatif pada kondisi perekonomian negara-negara berkembang atau emerging market termasuk Indonesia. Ini mengingat dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi China akan membuat pengambil kebijakan seperti pemerintahan Joko WIdodo lebih seksama dalam menganalisa putusan yang ditetapkan. Terlebih ketika Indonesia memiliki hubungan dagang yang cukup besar dengan negara berjuluk 'negeri tirai bambu' tersebut.
“Sebagian negara-negara Asia Tenggara diperkirakan akan lebih rentan dari yang lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok. Hal ini tidaklah mengejutkan, karena selama 15 tahun terakhir ini, regional ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari rantai pasokan produsen Tiongkok," ungkap Irhoan Tanudiredja, Senior Partner PwC Indonesia.
Meski akan berdampak negatif, Irhoan bilang perlambatan ekonomi China diyakini tak akan memberi tekanan seperti krisis parah yang terjadi di medio 1997. Ini lantaran sebagian besar ekonomi Asia Tenggara saat ini telah memiliki penyangga fiskal yang memadai untuk mengehadapi penurunan.
Di kesempatan berbeda, Louis Kuijs, Analis Oxford Economics menyatakan pertumbuhan ekonomi China sepanjang kuartal III 2015 mengalami penurunan menjadi 6,9 persen dibandingkan realisasi kuartal sebelumnya yang menyentuh 7 persen. "Dalam kondisi seperti ini kami berharap langkah-langkah moneter dan fiskal (pemerintah China) yang lebih bertahap," kata Kuijs dikutip dari Reuters, Senin (19/10).
Seperti diketahui, China merupakan pasar ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat (AS) yang kini tengah mengalami perlambatan pertumbuhan akibat sejumlah faktor meliputi pelemahan angka penjualan rumah hingga besarnya hutang pemerintah. Meski begitu, sejumlah pihak meyakini pemerintah China masih dapat mempertahankan angka pertumbuhan ekonomi di kuartal IV sebesar 6,8 hingga 6,9 persen asalkan bank sentral bersedia memotong suku bunga sebesar 25 basis poin, serta menurunkan lagi jumlah cadangan devisa.
Survei terakhir Reuters menunjukkan, syarat tersebut akan menjadi harapan para ekonom yang menilai ekonomi China masih bisa bertahan di angka tersebut sebelum turun lagi menjadi 6,7 persen pada kuartal I 2016. Pemerintah China dinilai bisa mempertahankan angka pertumbuhan ekonomi di kuartal IV sebesar 6,8-6,9 persen asalkan bank sentral bersedia memotong suku bunga sebesar 25 basis poin, serta menurunkan lagi jumlah cadangan devisa.
Survei terakhir Reuters menunjukkan syarat tersebut menjadi harapan para ekonom yang menilai ekonomi China masih bisa bertahan di angka tersebut sebelum turun lagi menjadi 6,7 persen pada kuartal I 2016. Sementara kelompok ekonom lain yang menjadi responden Reuters berpendapat peningkatan belanja fiskal bisa lebih efektif dalam mengangkat pertumbuhan ekonomi seperti yang sudah dilakukan pemerintah China saat ini.
“Pemerintah telah mempercepat pengeluaran pada infrastruktur dan mengurangi pembatasan pada sektor properti yang lemah. Kebijakan itu berhasil menghidupkan kembali penjualan rumah yang melemah tapi belum mengubah penurunan tajam dalam sektor konstruksi,” bunyi kesimpulan survei Reuters, dikutip Senin (19/10). Selain mengusulkan pemangkasan suku bunga bank sentral dan mengurangi cadangan devisa, sejumlah ekonom justru meragukan validitas data yang diterbitkan pemerintah China. Beberapa pengamat pasar percaya pertumbuhan saat ini jauh lebih lemah dari pernyataan pemerintah.
Beberapa ekonom menduga apabila pemerintah China menerbitkan data statistik yang asli, maka hal tersebut bisa semakin melemahkan pertumbuhan di sektor konsumsi dan sektor lain. China merupakan entitas ekonomi terbesar kedua di dunia, yang pada kuartal III 2015 mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi menjadi 6,9 persen dibandingkan realisasi kuartal II 2015 sebesar 7 persen. Pertumbuhan ekonomi kuartal III tersebut merupakan yang terendah sejak 2009 di mana China sempat membukukan pertumbuhan ekonomi hanya 6,2 persen.
Pengamat ekonomi menilai awal dari penurunan ekonomi disebabkan investor di bursa Shanghai Tiongkok, dilanda kepanikan jual. Akibatnya, bursa Shanghai sempat rontok sampai 8 persen. Parahnya, kepanikan itu meluas hingga pasar bursa lain di Asia, padahal ekonomi China memberi pengaruh terhadap sepertiga dari pertumbuhan ekonomi global dalam tujuh tahun terakhir.
"Tekanan lanjutan dari real estate dan ekspor disebabkan Produk Domestik Bruto (PDB) turun menjadi 6,9 persen. Kami pikir pertumbuhan secara keseluruhan akan membaik pada 2016. Dalam kondisi seperti ini kami berharap adanya langkah-langkah moneter dan fiskal yang lebih bertahap,” ujar Louis Kuijs, analis Oxford Economics di Hong Kong.
No comments:
Post a Comment