Pengamat memprediksi nilai tukar rupiah bakal kembali ambruk pada akhir tahun setelah adanya perkiraan bahwa bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed bakal menaikkan suku bunganya (Fed rate). Ekonom UOB Group, Ho Woei Chen mengatakan, rupiah telah kembali menguat hingga 10 persen dari level terendah selama 17-tahun di level 14.828 per dolar AS pada bulan September. Menurutnya, penguatan tajam baru-baru ini mungkin tidak bertahan.
Pasalnya, ia melihat risiko pelemahan rupiah ke depannya, karena prospek pelemahan harga komoditas, defisit transaksi berjalan, dan ekspektasi penguatan dolar AS terhadap mata uang regional jika AS menilai normalisasi suku bunga dilakukan sebelum akhir tahun .
“Kami memprediksi penaikan suku bunga AS yang pertama akan terjadi dalam FOMC (pertemuan dewan gubernur The Fed) pada 15-16 Desember 2015. Hal berarti bahwa rupiah kemungkinan bakal jatuh kembali ke level 14.700 per dolar AS pada akhir kuartal IV 2015 dan 14.800 per dolar AS pada akhir kuartal I 2016,” katanya dalam ulasan, Jumat (16/10).
Lebih lanjut, ia menyatakan Bank Indonesia (BI) mempertahankan tingkat suku bunga dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI) tidak berubah, masing-masing di level 7,50 persen dan 5,50 persen dalam delapan bulan berturut-turut. “Hal ini sejalan dengan konsensus dan ekspektasi kami,” ujarnya. Sementara, ia menyatakan data ekspor dan impor September yang dirilis sebelumnya hari ini telah berkontraksi lebih cepat dari yang diperkirakan, menunjukkan pelemahan dalam permintaan domestik dan eksternal. Ekspor turun 17,98 persen secara tahunan dibandingkan dengan penurunan 12,12 persen pada bulan Agustus.
Adapun impor turun lebih tajam sebesar 25,95 persen secara tahunan dibandingkan dengan 16,18 persen penurunan pada bulan Agustus. Sedangkan impor yang lemah mengakibatkan peningkatan neraca perdagangan menjadi US$ 1,017 miliar pada September dari US$ 0,328 miliar pada bulan Agustus . “Selain tiga paket kebijakan untuk mendorong pertumbuhan yang diumumkan pada bulan September dan awal bulan ini, pemerintah meluncurkan paket lanjutan untuk meningkatkan lapangan kerja yang akan mencakup formula untuk kenaikan upah minimum tahunan berdasarkan kebutuhan hidup minimum, PDB (Pendapatan Domestik Bruto) dan inflasi, dalam rangka memberikan kepastian untuk bisnis,” kata Ho Wei.
Meskipun demikian, Ho Wei menyatakan pihaknya percaya bahwa kurangnya permintaan eksternal dan perlambatan pertumbuhan China akan membatasi setiap pemulihan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. “Kami memperkirakan bahwa pertumbuhan PDB hanya akan meningkat sedikit ke 4,8 persen di semester II 2015 dari 4,7 persen di semester I 2015,” ujarnya.
Ia menilai tingkat inflasi bulanan telah mencapai 7,3 persen pada tahun ini karena pada bulan September mencapai 6,8 persen. Penurunan inflasi lebih lanjut diperkirakan pada bulan November dan Desember. Adapun ia menilai inflasi akhir tahun diperkirakan di level 4,0-4,5 persen. “Data ekonomi yang lemah di Indonesia dan penurunan inflasi diperkirakan akan membuat opsi penurunan suku bunga terbuka,” ujarnya.
Namun, katanya lagi, hal ini sangat bergantung pada tingkat normalisasi suku bunga AS. Untuk saat ini, lanjutnya, pemulihan rupiah telah mengurangi tekanan dari kenaikan suku bunga di Indonesia dalam jangka pendek. Lebih lanjut, ia menilai hal itu tidak terjadi jika BI memperkirakan The Fed akan menunda dimulainya normalisasi suku bunga hingga 2016. Namun penurunan suku bunga bisa menjadi langkah berisiko karena meningkatkan tekanan pada rupiah. “Kami mempertahankan prediksi BI untuk menahan suku bunga di level 7,50 persen hingga sisa tahun ini,” ucapnya
No comments:
Post a Comment