Menteri Perdagangan Thomas Lembong atau Tom Lembong telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permendag) No 87 Tahun 2015 tentang ketentuan impor produk tertentu, namun aturan ini menuai protes dunia usaha. Aturan yang merupakan bagian dari deregulasi dianggap blunder, awalnya ingin mempermudah perizinan dan investasi dunia usaha namun mengancam keberlangsungan industri dalam negeri.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman mengatakan, dalam Permendag No 87 tahun 2015 yang merupakan revisi dari beberapa Permendag sebelumnya akan berlaku efektif 1 November 2015 hingga 31 Desember 2018, setelah ditetapkan oleh Mendag Tom Lembong 15 Oktober 2015.
Pemendag sebelumnya antara lain Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36/M-DAG/PER/7/2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 83/M-DAG/PER/12/2012 Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu yang kemudian diubah melalui Permendag Nomor 36/2014. Permendag Nomor 83/2012 sudah pernah diubah melalui Permendag Nomor 61/M-DAG/PER/9/2013.
"Awal semangatnya mau mempermudah dunia usaha, tapi jadi blunder. Semua asosiasi protes, nggak ada yang nggak protes, termasuk Pak Rachmat Gobel (industri elektronika)," kata Adhi. Adhi mengatakan, dalam Permendag tersebut, produk impor tertentu yang diatur mencakup 7 produk, antara lain makanan dan minuman, obat tradisional dan suplemen kesehatan, kosmetika dan perbekalan kesehatan rumah tangga, pakaian jadi dan barang tekstil sudah jadi, alas kaki, elektronika, dan mainan anak-anak.
Barang-barang impor tersebut harus memasuki pelabuhan laut tertentu saja saat akan masuk ke Indonesia, di antaranya untuk pelabuhan antara lain Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, Soekarno Hatta, Dumai, Jayapura, Tarakan, Krueng Geukuh, dan Bitung. Sedangkan untuk pelabuhan darat yaitu Cikarang Dry Port di Bekasi. Untuk pelabuhan udara yaitu Kualanamu, Soekarno Hatta, Ahmad Yani, Juanda, dan Hasanuddin.
Menurut Adhi, Pertama yang menjadi protes pengusaha dalam Permendag itu adalah soal ketentuan bahwa importir yang boleh melakukan impor yaitu cukup mengantongi Angka Pengenal Importir (API) Umum. Sebelumnya dalam ketentuan sebelumnya importir produk tertentu harus mengantongi dokumen Importir Terdaftar (IT), namun IT kini dihapus dalam paket kebijakan deregulasi dalam rangka penyederhanaan perizinan.
Bagi produsen dalam negeri, aturan ini justru merepotkan, alasannya selama ini mereka hanya mengantongi API Produsen. Sehingga harus membentuk perusahaan baru untuk mendapatkan API Umum atau mereka menunjuk perusahaan lain untuk mengimpor produk jadi yang dibutuhkan. Selama ini, industri dalam negeri masih harus mengimpor produk jadi sebagai cara untuk tes pasar dari pabrik atau mitra mereka yang ada di luar negeri. "Artinya sekarang orang lebih mudah jadi pedagang saja, tak perlu investasi, hanya cukup satu karyawan bisa mengimpor semua barang," katanya.
Kedua adalah, soal ditambahnya beberapa pelabuhan pemasukan impor produk tertentu, dalam Permendag sebelumnya yang sudah beberapa kali direvisi, pintu pelabuhan lebih sedikit. Pada Permendag Nomor 83/2012 hanya ada beberapa pelabuhan yang boleh jadi pintu masuk yaitu pelabuhan laut Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, Seokarno Hatta, Dumai, Jaya Pura, dan Tarakan. Untuk Bandara antara lain Polonia, Soekarno Hatta, Ahmad Yani, Juanda, dan Hasanudin. "Misalnya asosiasi garmen, tekstil mereka mengusulkan impor garmen sebaiknya masuk di pelabuhan luar Jawa saja supaya tak mengganggu pasar dalam negeri," katanya.
Persoalan ketiga adalah, soal belum dimasukkannnya ketentuan tanggung jawab keamanan pangan terutama bagi importir yang mengimpor makanan. Padahal dengan ketentuan Permendag saat ini, sebuah perusahaan importir umum bebas memasukan barang dengan leluasa tanpa ada konsekuesi tanggung jawab pasca mengedarkan produk yang mereka jual di pasar.
"Kalau perusahaan pemegang API umum impor barang jadi, disebar ke pasar, kalau dia tutup barang masih beredar, lalu ada masalah pada barangnya, siapa yang tanggung jawab. Kan kalau produsen lebih jelas, pemerintah mudah melacak, siapa produsen ini penting. Kalau nggak saya nggak usah produksi, saya jadi pedagang saja," kata Adhi.
No comments:
Post a Comment