Tuesday, October 13, 2015

Penjualan Mobil dan Motor Turun 21 Persen Tahun 2015

Penjualan kendaraan mobil dan motor diperkirakan mengalami penurunan hingga 19%-21% di saat ekonomi lesu. Pada kuartal I-2015 ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,7%, sedangkan kuartal II hanya 4,67%. Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D Sugiarto mengungkapkan penjualan mobil tahun ini diperkirakan hanya sebesar 950.000-1.000.000 unit atau turun 19% dari tahun lalu sempat capai 1,2 juta unit.

"Penjualan dalam negeri tahun lalu 1,2 juta unit, 950.000-1.000.000 unit diperkirakan tahun ini. Jadi Turun 19%," ungkap Jongkie usai menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (13/10/2015). Porsi ekpor diperkirkan tidak berbeda dari tahun lalu, sebanyak 200.000 unit mobil dikirim ke berbagai negara. Sedangkan untuk kapasitas produksi masih mencapai 1,9 juta unit dengan realisasi per Agustus sebanyak 740.000 unit. Ditargetkan bisa mencapai 1 juta unit pada akhir tahun.

"Ekspor kami sampaikan bahwa tahun lalu 200.000 unit, tahun ini juga diperkirakan sama angkanya," imbuhnya. Untuk penyerapan tenaga kerja, kata Jongkie sudah mencapai 1,3 juta orang. Kemudian kontribusi terhadap penerimaan negara dalam setahun mencapai Rp 70 triliun meliputi PPN dan PPnBM dan sebanyak Rp 31 triliun untuk pemerintah daerah melalui Bea Balik Nama (BBM) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).

"Kepada pemerintah pusat kita berikan Rp 70 triliun dan Pemda secara total Rp 31 triliun," imbuhnya. Ketua Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Gunadi Sindhuwinata menambahkan untuk penjualan sepeda motor tahun ini diperkirakan turun 21%. Kapasitas terpasang ada 9,6 juta unit dan baru terealisasi 65%. Meskipun demikian Indonesia masih tetap menjadi pemain nomor tiga di dunia, setelah China dan India dari sisi produksi.

"Pemakaian kapasitas terpasang yang ada sebesar 9,6 juta unit saat ini hanya tercapai 65%, meskipun demikian perlu digarisbawahi bahwa kita tetap jadi pemain nomor 3 di dunia setelah RRT dan India," kata Gunadi pada kesempatan yang sama. Gunadi menuturkan industri ini sudah mampu menyerap tenaga kerja sampai dengan 2 juta orang dari hulu sampai dengan hilir. Hulu seperti yang berada di area produksi dan hilir meliputi bengkel hingga lembaga pendanaan.

"Yang paling penting di sini adalah bahwa dengan 9,6 juta unit kita menyerap tenaga kerja hulu sampai hilir sebanyak 2 juta orang, termasuk bengkel industri pendanaan, dan terlibat juga langsung dengan produksi," katanya. Tidak lama lagi, Indonesia akan menghadapi pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Untuk sektor keuangan, MEA akan mulai dibuka pada tahun 2020 mendatang.

Melalui MEA ini, setiap negara bebas berekspansi dan berlomba-lomba menonjolkan produk-produk mereka baik di sektor riil maupun keuangan. Sayangnya, hingga saat ini, pelaku ekonomi Indonesia masih domestic oriented. Mereka menganggap pasar dalam negeri jauh lebih menguntungkan sehingga enggan untuk berekspansi ke luar negeri. Padahal, setiap negara punya potensi pasar yang menggiurkan.

Demikian dikatakan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad saat membuka acara OJK Forum 'Peluang dan Tantangan Industri Jasa Keuangan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN', di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta.

"Salah satu masalah, banyak pelaku ekonomi masih sangat memanfaatkan pasar dalam negeri, salah satu kekurangan kita, banyak players kita domestic oriented, lupa melihat pasar luar, dengan alasan margin di dalam negeri masih sangat menggiurkan sehingga tidak ada effort yang besar untuk masuk pasar luar negeri, ini satu sentilan bagi kita," jelas dia. Menurut Muliaman, pasar luar negeri juga punya potensi yang bagus. Selain itu, melalui MEA produk-produk Indonesia bisa dikenal di negara-negara tetangga.

"Bagi mereka, keluar merupakan suatu keharusan karena potensi negara luar besar. Sementara kita, lupa dengan pasar luar," katanya. Untuk itu, Muliaman menjelaskan, perlu dorongan yang kuat agar sektor riil dan keuangan bisa berekspansi lebih luas lagi. "Kalau hanya mendorong industri perbankan, tidak dibarengi industri lain ya akan timpang, ini kemudian menjadi saling terkait satu sama lain, ketika ingin mendorong bank ke Vietnam, Kamboja, sementara sektor riil tidak, jadi kurang optimal," sebut dia.

Jadi, kata Muliaman, integrasi ASEAN ini tidak hanya dilihat dari sektor keuangan tapi seluruh kegiatan ekonomi seperti jasa, manufaktur dan properti sehingga terbuka luas. "ASEAN kalau digabung itu ada 600 juta orang, artinya di Asia ini setelah China dan India, ketiga ASEAN, dan 40% dari ASEAN itu Indonesia, jadi Indonesia memegang peranan penting dalam integrasi ASEAN," terang dia.

Terkait hal itu, Muliaman mengatakan, Indonesia perlu bersiap diri menghadapi MEA agar tidak tertinggal dengan negara lain. "Kita harus segera bergegas dalam menyiapkan diri, potensi besar di ASEAN, mubazir kalau tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya," pungkasnya. Para perwakilan pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) datang ke Istana Negara untuk bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Perwakilan Gaikindo menuturkan berbagai persoalan yang menghambat tumbuhnya industri otomotif kepada Presiden Jokowi. Mereka antara lain Gunadi Sindhuwinata, Johannes Loman dan lainnya. Ketua I Gaikindo Jongkie D Sugiarto menuturkan persoalan pertama yang disampaikan ke Jokowi yaitu terkait dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan mobil jenis sedan kecil dan SUV kecil yang dikenakan tarif 30%. Sehingga harga jual barang pun menjadi tinggi dibandingkan kendaraan lain.

Sementara itu untuk jenis mobil MVP, tarif PPnBM yang dikenakan hanya 10%. Padahal jenis MVP sekarang yang paling besar kuasai pasar dalam negeri. "Kami harapkan bapak presiden bisa meninjau ulang, karena kami ingin harga suv dan sedan bisa bersaing, dan selanjutnya angka penjualan bisa naik dan bisa dirakit di Indonesia dimana akhirnya bisa diekspor," jelas Jongkie dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (13/10/2015).

Masalah Kedua adalah pengenaan bea masuk anti dumping atau (BMAD) terhadap material baja impor sebagai komponen bahan baku otomotif, kebijakan ini memberatkan biaya produksi. "Ada beberapa komponen bahan baku yang masih dikenakan bea masuk anti dumping, antara lain otomotif steel yang belum diproduksi di Indonesia. Jadi kami mohon agar bea masuk anti dumping dapat ditinjau kembali," paparnya. Jongkie menuturkan yang ketiga adalah terkait dengan pengenaan bea masuk untuk komponen kendaraan dengan tujuan ekspor. Menurutnya sektor otomotif dapat dikecualikan, karena bisa mendorong volume ekspor yang lebih besar.

"Kami ingin juga dilihat dan ditinjau bahwa fasilitas ekspor atau komponen yang diimpor yang dipakai untuk produksi kendaraan bermotor yang mau diekspor jangan sampai dikenakan bea masuk. Karena tujuannya kan diekspor, harusnya bebas bea masuk. Sehingga kendaraan itu bisa kompetitif di pasar global," terang Jongkie. Keempat, adalah penguatan industri komponen di dalam negeri. Salah satunya adalah dengan pemberian insentif pajak untuk industri tersebut. Indonesia, kata Jongkie baru memeiliki 600 industri komponen, sementara negara tetangga seperti Thailnad sudah memiliki 2500 industri komponen.

"Kita juga harus menguatkan struktur industri dengan memberikan insentif bagi investor baru di industri komponen. misalnya di tax holiday, sehingga industri komponen dalam negeri dapat berkembang, industri komponen kami sekarang baru ada 600 perusahaan, sedangkan di negara tetangga itu di atas 2.500 misalnya Thailand itu 2.500 industri," ujarnya. "Kelima. dalam menghapai Masyrakat Ekonomi ASEAN (MEA), kita juga harus perhatikan peningkatan laboratorium uji di dalam hal ini alat uji, sistem dan SDM, sehingga uji tersebut tak perlu dilakukan di luar negeri, tapi di dalam negeri," tukasnya.

No comments:

Post a Comment