Pemerintah Indonesia terus mendesak Australia agar taat pada aturan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), khususnya perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), untuk mencabut kebijakan produk rokok berkemasan polos. Kebijakan Australia itu dinilai telah melanggar perjanjian TRIPS pasal 2.1, 15.4, 16.1, 16.3, 20, 22.2 (b), 24.3, serta perjanjian Technical Barriers to Trade (TBT) pasal 2.2.
Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi, menegaskan hal tersebut dalam sidang panel kedua kasus sengketa perdagangan atas kebijakan kemasan polos produk rokok Australia, di Jenewa, Swiss, yang berlangsung 28-30 Oktober 2015. Bachrul menegaskan, kinerja ekspor bisa terhambat dan perekonomian nasional dapat terganggu. Sebab, rokok merupakan salah satu industri penting di Indonesia.
"Pemerintah sangat serius melindungi kepentingan nasional. Kebijakan kemasan polos rokok Australia dapat menurunkan ekspor produk rokok Indonesia dan berdampak terhadap penghidupan 6,1 juta petani tembakau dan cengkeh," tegas Bachrul, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (31/10/2015). Selain itu, tenaga kerja di industri rokok nasional juga terdampak. Industri rokok menyumbang 1,66% total Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia dan devisa negara melalui ekspor ke dunia yang nilainya mencapai US$ 700 juta. Selain Indonesia, negara penggugat lainnya adalah Honduras, Republik Dominika, dan Kuba.
Bachrul menyatakan, sebenarnya Indonesia tidak keberatan dengan upaya Australia mengurangi konsumsi rokok dan pembatasan akses rokok bagi anak muda dan perokok pemula, sejalan dengan yang telah dilakukan Indonesia. Meski demikian, Indonesia beranggapan kebijakan kewajiban penggunaan kemasan polos yang diterapkan oleh Australia sangat berlebihan sehingga mencederai pemegang hak atas hak kekayaan intelektual (HKI) merek dagang untuk menggunakan haknya secara bebas.
“Kebijakan kemasan polos produk rokok yang diberlakukan Australia tidak akan menyelesaikan upaya penurunan tingkat konsumsi rokok di kalangan anak muda dan pemula di Australia. Sebaliknya, kebijakan tersebut akan membuat persaingan tidak sehat dan mencederai hak atas kekayaan intelektual,” ucapnya. Bachrul menjelaskan, upaya mengurangi konsumsi rokok melalui penerapan kebijakan seharusnya konsisten dengan kewajiban di WTO. Kebijakan yang diambil Australia justru menghilangkan perlindungan terhadap HKI serta menghambat industri rokok nasional
"Pemerintah optimistis kepentingan nasional, terutama petani dan tenaga kerja di industri rokok nasional dapat dilindungi melalui upaya gugatan ini,” imbuhnya.Gugatan atas sengketa ini diharapkan juga memberikan legitimasi yang berimbang atas keinginan melindungi kesehatan konsumen, tanpa menghilangkan perlindungan atas HKI. Indonesia bersama penggugat lainnya optimistis memenangkan kasus ini, bukan hanya untuk melindungi HKI produsen rokok serta para petani tembakau dan cengkeh, namun juga menjadi pedoman menentukan kebijakan untuk membatasi konsumsi rokok dan akses rokok bagi anak muda dan perokok pemula yang sejalan dengan ketentuan WTO.
No comments:
Post a Comment