Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro menilai, pemerintah harus merevisi Undang-Undang Perbankan pasal kerahasiaan bank. Hal ini perlu dilakukan untuk memperkecil dana ilegal yang keluar dari Indonesia atau biasa disebut illicit.
Sebenarnya, kata Budi, Indonesia menganut aturan seperti Amerika Serikat yang mewajibkan warganya harus melaporkan kekayaannya di semua negara yang mereka singgahi. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan transparansi pengelolaan dana perusahaan. "Tapi ironis, di Indonesia Kementerian Keuangan justru tak bisa akses data perbankan. Jadi kita kelihatan sekali pembayar pajak yang kaya sangat sedikit," kata Budi, saat melakukan diskusi di Cheese and Cake Factory, Jakarta, Ahad, 18 Oktober 2015.
Berdasarkan data Global Financial Integrity, dana yang diperoleh, ditransfer, diperoleh dan digunakan secara ilegal maupun legal secara immoral atau biasa yang mengalir keluar Indonesia atau illicit mencapai US$ 187,8 miliar atau sekitar Rp 25,3 triliun. Angka itu didapatkan selama periode 2003-2012. Selain karena tak adanya akses untuk membuka data perbankan, tak tegasnya pemerintah menghadapi derasnya arus illicit juga dikarenakan minimnya tenaga. Di Direktorat Jenderal Pajak, jumlah tenaga yang menangani transfer pricing, kata Budi, hanya berjumlah 14 orang.
Pemerintah menurutn Budi, juga perlu membentuk semacam intelijen pajak. Tim ini bertugas untuk menyelidiki aset dan pengelolaan dana pada perusahaan yang melantai di bursa. "Kita lihat omset berapa, pajaknya berapa. Kalau tak sesuai ya dihukum, jangan malah diberi tax amnesty." Direktur Financial Transparency Coalition, Porter McConnel mengatakan kejahatan illicit ini sudah cukup meresahkan. Namun, a ada beberapa solusi yang bisa dilakukan oleh para pemangku kebijakan. "Jalan keluarnya adalah menekankan transparansi dan kepercayaan publik," kata dia.
Korporasi, kata Porter, harus mempublikasi siapa pemilik serta penikmat keuntungan perusahaan. Di beberapa negara di Eropa, ada sitem pendaftaran publik bagi para korporasi. Data yang mereka punya juga bisa diakses oleh publik. Selain itu, pemerintah juga harus jeli melihat pengelolaan keuangan perusahaan. Dia mencontohkan, ada perusahaan yang memiliki cabang di sebuah negara maju dengan hanya satu staf. Anehnya, mereka bisa meraup untung besar tiap tahun. "Nah pemerintah harus bertukar informasi dengan negara itu. Sebab, kebanyakan uang itu justru keluar dari negara berkembang ke negara maju," ucap Porter
Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia, Dadang Tri Sasongko mengatakan nilai dana illicit jauh lebih besar daripada kasus korupsi mana pun di Indonesia. "Masalah ini lebih dahsyat dari pada korupsi. Apalagi, kejahatan keuangan makin lama makin canggih," ujarnya. Praktek seperti ini, kata dia, tak lepas dari adanya keputusan publik yang dibajak oleh kekuatan korup. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh lembaganya, saat ini masih cukup banyak perusahaan yang menyembunyikan aset dengan menyamarkan identitas korporasi. Ini dilakukan untuk menghindari pajak. "Perlu adanya perbaikan instrumen hukum."
Ketua Dewan Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad menolak membuka data nasabah untuk kepentingan penerimaan pajak. Menurut dia, berdasarkan Undang-Undang Perbankan, data nasabah hanya bisa dibuka jika menyangkut soal tindak pidana pajak dan harus melalui permintaan Menteri Keuangan kepada otoritas. "Kami mengikuti aturan saja. Jika aturannya mengharuskan seperti itu, kami tentu harus ikut," kata Muliaman di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 3 Maret 2014.
Menurut Muliaman, saat pengawasan perbankan masih berada di bawah Bank Indonesia, prosedur permintaan pembukaan data nasabah itu sudah dilakukan. Namun, hanya terbatas pada persoalan tindak pidana atau pelanggaran perpajakan. "Jadi itu sudah berjalan. Jika permintaan untuk penerimaan pajak tidak bisa. Karena aturannya memang seperti itu," ujar Muliaman.
Sementara itu, Direktur Utama Bank Negara Indonesia, Gatot S. Wondo, tidak mau banyak berkomentar soal itu. Ia mengatakan hanya akan mematuhi aturan yang ada mengenai prosedur pembukaan data nasabah. "Kan sudah ada aturannya, dulu dari Menteri Keuangan ke Gubernur BI dan sekarang ke OJK. Kok, dibuat aturan lagi?" kata dia. Mengenai permintaan data tersebut otomatis untuk kepentingan penerimaan pajak, Gatot tak mau berkomentar. "No comment soal itu."
Direktur Utama Bank Tabungan Negara, Maryono, berpendapat sama. Menurut dia, data nasabah untuk kepentingan pajak hanya menyangkut kasus yang khusus. Sementara itu, permintaan agar data itu diberikan secara otomatis kepada Direktorat Pajak, Maryono mengatakan, berpotensi menimbulkan tumpang-tindih otoritas perbankan. "Karena ini juga menyangkut kerahasiaan bank," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri mengaku akan segera menemui OJK untuk membicarakan pembukaan data nasabah bank secara otomatis oleh Direktorat Pajak guna kepentingan penerimaan negara. Menurut dia, meski dalam UU Perbankan ada klausul data bank bisa dibuka untuk pajak, itu hanya bisa dilakukan atas permintaan Menteri Keuangan. "Sekarang pengelolaan di bawah OJK. Kami mau bicarakan dulu. Kalau mereka sepakat, boleh," katanya saat dihubungi. Chatib bahkan mengatakan negara-negara ekonomi utama G-20 sudah setuju untuk bekerja sama dalam bentuk pertukaran data nasabah bank bagi kepentingan pajak. Menurut dia, pertukaran data tersebut akan mulai dilakukan pada 2015.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, menilai pembukaan data bank untuk kepentingan pajak tidak sederhana. Kerja sama antara Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saja dianggap tidak cukup. "Pasal 41 ayat 1 Undang-Undang Perbankan harus diamendemen agar Direktorat Pajak punya akses data bank untuk menambah penerimaan negara," kata dia. Dalam Pasal 41 ayat 1 UU Perbankan, otoritas perbankan diberi kewenangan mengeluarkan perintah tertulis kepada bank untuk membuka data atas permintaan Menteri Keuangan. Begitu pula dalam UU Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (KUP) yang mewajibkan lembaga negara atau asosiasi memberikan data dan informasi kepada Direktorat Pajak.
"Tapi poin dasarnya adalah bagaimana agar akses pajak bisa langsung tanpa prosedur permintaan izin kepada OJK," kata Yustinus. Ia memprediksi OJK tidak akan berani memberi izin karena secara positif UU Perbankan masih berlaku.
No comments:
Post a Comment