Asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 mematok nilai tukar rupiah pada angka Rp 12.500 per dolar Amerika Serikat (AS). Namun realisasinya sudah menyimpang jauh dari target, di mana pada perdagangan kemarin, Rabu (12/8) angkanya menembus Rp 13.800 dan ditutup pada level Rp 13.758 per dolar berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI).
Ketidakpastian ekonomi global dituding bank sentral maupun pemerintah sebagai biang keladinya. Hal itu diamini oleh Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky, yang menyebutnya sebagai fakta ekonomi Indonesia terkini. Menurut Yanuar, sedikit atau banyak ada intervensi BI dalam pergerakan rupiah saat ini. Namun, operasi pasar yang dilakukan bank sentral dengan menggelontorkan valas dalam jumlah besar dinilainya sia-sia karena tak cukup efektif meredam kejatuhan rupiah.
"Itu kan sama saja menggarami air laut. Dengan mengguyur valas, apakah rupiahnya menguat? kan tidak," tuturnya. Ketimbang menghambur-hamburkan valas dengan hasil yang tak jelas, kata Yanuar, lebih baik cadangan devisa yang ada disuntikan ke sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) yang mendapat amanat pemerintah untuk menjamin ketersediaan energi dan pangan.
Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan pangan, PT Pertamina (Persero) dan Perum Bulog harus menggunakan dolar untuk mengimpornya dari luar negeri. Cara ini dinilai Yanuar lebih efektif dalam menjaga stabilisasi inflasi sehingga naiknya harga-harga barang kebutuhan pokok bisa diredam di tengah biaya impor yang semakin tinggi.
Lagipula berdasarkan Undang-Undang (UU) tentang Bank Indonesia, tugas utama BI adalah mengendalikan inflasi, yang dikaitkan dengan uang beredar dan nilai tukar. "Jadi tugas utamanya adalah mengendalikan inflasi, sedangkan nilai tukar hanya alat untuk mencapai itu," tuturnya. Menurut Yanuar, dengan dikaitkannya pengendalian inflasi dengan stabilisasi nilai tukar, sebenarnya secara legal Indonesia sudah diarahkan menjadi negara nett importir.
Berdasarkan teori keseimbangan John Forbes Nash atau Game Theory, lanjut Yanuar, ketika para pemain dominan bermain aktif di pasar maka titik keseimbangan baru akan tercipta setelah mereka saling membagi rata. Titik keseimbangan baru bisa tercipta jika ada pemain dominan baru yang masuk dalam persaingan pasar. "Yang menjadi korban adalah yang tidak ikut main seperti kita. Konsekuensinya rupiah akan terus melemah," tuturnya.
Merujuk pada Game Theory tersebut, saat ini hanya ada empat pemain dominan di dunia yang mengontrol pasar keuangan global, yakni Bank Sentral AS (The Fed), Bank Sentral Eropa (ECB), Bank Sentral Jepang (BoJ), dan Bank Sentral China (PBOC). Persaingan mereka di pasar uang global masih akan berlanjut dan diyakini dampaknya terhadap pelemahan rupiah masih akan berlanjut.
"Jadi biarkan saja nilai tukar melemah, karnea kita bukan pemain dominan yang bisa mempengaruhi titik keseimbangan global. BI sebaiknya fokus pada pengendalian inflasi di dalam negeri," jelasnya. Yanuar menilai, bukan perkara ‘bisa atau tidak’ BI menyuntik valas ke BUMN. Namun, lebih pada ‘mau atau tidak’ BI, pemerintah dan DPR bermufakat melawan musuh ekonomi bersama yang disebutnya sebagai intervensi global.
"Contoh Quantitative Easing di Amerika Serikat dan devaluasi yuan di China, itu kan hasil kompromi pemerintah dan parlemen dalam melawan musuh bersama, yakni musuh eksternal. Kalau urusan internal saling berkompetisi itu urusan lain," katanya. Begitu pula dengan Indonesia, kata Yanuar, seharusnya pemerintah dan DPR punya visi yang sama dalam menghalau pengaruh asing. Sementara untuk urusan alokasi APBN yang sifatnya internal, dimaklumi jika berbeda pandangan.
Yanuar Rizky mengatakan ekonomi Indonesia rentan terpengaruh gejolak eksternal karena secara fundamental memang tidak sekokoh negara-negara maju. Ketergantungan terhadap barang impor yang terlalu tinggi dinilai sebagai penyebab utamanya.
Nilai tukar rupiah hari ini mengalami koreksi harian terparah untuk 2015. Berdasarkan catatan perdagangan setengah hari yang dikutip dari Reuters, dalam setengah hari rupiah anjlok 1,33 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mata uang dolar AS terus menguat hingga menembus Rp 13.825, yang merupakan posisi tertingginya hari ini. Otoritas moneter Bank Indonesia langsung memberikan respons. Menurut Gubernur Bank Indonesia Agus D.W Martowardojo, rupiah akhir-akhir ini sudah jatuh terlalu dalam sehingga berada di bawah nilai wajar (undervalued).
"Bank Indonesia melihat bahwa pelemahan rupiah akhir-akhir ini telah terlalu dalam (overshoot) sehingga telah berada jauh di bawah nilai fundamentalnya (undervalued)," ujar Agus Martowardojo dalam keterangan tertulis, Rabu (12/8). Menyikapi perkembangan tersebut, Bank Indonesia menurut Agus telah dan akan terus berada di pasar untuk melakukan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah. “Bank Indonesia akan mengoptimalkan bauran kebijakan dan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan otoritas lainnya,” ujar Agus.
Posisi Rp 13.825 per dolar AS ini setara dengan posisi pada Agustus 1998, alias saat Indonesia mengalami krisis moneter 1998. Jika dilihat sepanjang tahun 2015, posisi rupiah sudah melemah lebih dari 10,4 persen Bank Indonesia (BI) meyakini dampak negatif pelemahan mata uang Yuan terhadap nilai tukar rupiah hanya akan terasa sementara. Kendati terus tertekan melewati nilai wajarnya, bank sentral menilai nilai rupiah masih cukup kompetitif untuk mendorong ekspor.
"Pengaruh kebijakan di China terhadap rupiah, tidak sebesar pengaruh yang terjadi pada Singapura dollar, Korean Won, Taiwan dollar dan Thai bath," ujar Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara melalui keterangan tertulis, Selasa (11/8). Kendati demikian, Mirza mengakui ada pengaruh kebijakan devaluasi yuan oleh bank sentral China terhadap pelemahan rupiah pada hari ini. Menurutnya, kebijakan Chin amelebarkan rentang mata uangnya (currency band) sebesar 2 persen mendapat reaksi negatif dari psar sehingga turut berimbas pada pergerakan rupiah.
"Hal itu dilakukan oleh pemerintah China untuk mengurangi pelarian modal, meningkatkan daya saing Yuan agar mendorong export, dan melindungi investor dalam negeri. Saat ini mata uang Jepang, Korea,dan Eropa, yang merupakan pesaing dagang utama China, sudah terdepresiasi cukup besar," ujar Mirza.
Selain itu, lanjut Mirza, pelemahan Rupiah belakangan ini juga dipengaruhi oleh pembayaran utang dan deviden yang biasanya marak terjadi pada kuartal II setiap tahunnya. "Kami meyakini bahwa hal ini (pelemahan yuan) akan bersifat sementara. Kami melihat bahwa saat ini Rupiah memang undervalued. Dan dari dalam negeri sendiri, saat ini kami memandang rupiah sudah cukup kompetitif terhadap export manufaktur, dan mampu mendorong turis masuk ke indonesia," tuturnya.
Menurut Mirza, BI akan terus memantau pergerakan rupiah di pasar dan siap melakukan intervensi jika sewaktu-waktu diperlukan. "Bank Indonesia akan selalu memonitor perkembangan Rupiah dan terus menerus di pasar untuk menjaga volatilitas rupiah," kata Mirza.
No comments:
Post a Comment