Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menilai asumsi nilai tukar rupiah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN) 2016 sebesar Rp 13.400 per dolar sangat realistis. Pasalnya, nilai tukar rupiah saat ini masih dibawah nilai (undervalue) dibandingkan capaian positif kondisi fundamental perekonomian Tanah Air.
“Kalau ditanya apakah itu realistis menurut saya masih realistis angka kurs rupiahnya. Bagi BI angka kurs rupiah ini undervalue dibandingkan fundamental ekonominya Indonesia yang membaik,” kata Mirza di kantornya, Jakarta, Jumat, (14/8). Membaiknya kondisi fundamental perekonomian itu menurut Mirza ditandai dengan defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD) yang telah mengecil. Ia mencontohkan, CAD Indonesia pada kuartal II 2014 mencapai lebih dari 4 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (Gross Domestic Product/ GDP).
Sementara pada kuartal II tahun ini bisa di bawah 2,3 persen dari GDP. Selanjutnya, kondisi inflasi tahun ini yang relatif terkendali dan diharapkan tidak lebih dari 4,5 persen hingga akhir tahun. “Memang pertumbuhan ekonomi melambat tapi (indikator fundamental) yang lain tidak melambat,” tutur Mirza. Selain itu, penguatan dolar terhadap mata uang negara-negara di dunia yang saat ini terjadi juga diperkirakan akan berakhir setelah Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/ The Fed) menaikkan tingkat suku bunganya akhir tahun ini.
“Pada waktu nanti Amerika sudah menaikkan suku bunganya, bisa September, bisa Desember gejolak nilai tukar ini harusnya sih mereda,” tutur Mirza. Lebih lanjut, melambatnya ekonomi China tahun ini juga diprediksi akan membaik tahun depan setelah pemerintahnya memberikan stimulus moneter pada perekonomiannya.
“Stimulus moneter yang dilakukan China 2016 nanti akan mulai terasa dampaknya walaupun mungkin di semester II. Karena kan pasti ada time lag antara stimulus dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya. Sementara Kepala Riset PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan pemerintah dan Bank Indonesia sebaiknya mulai menakar secara lebih akurat beberapa hal yang bakal terjadi tahun depan.
“Tadi ada pernyataan dari bank sentral China untuk menahan laju devaluasi Yuan. Ada sinyal yang lumayan baik. Tapi kita harus hati-hati dengan adanya sentimen dari The Fed yang akan menaikkan suku bunga,” katanya. Menurutnya jika The Fed jadi menaikkan suku bunga, maka pelemahan mata uang dunia bakal kembali terjadi, dan perang mata uang besar akan membara. Di sisi lain, menurutnya ada juga kemungkinan sikap lunak The Fed dengan mempertimbangkan kebijakan devaluasi Yuan.
“Pertemuan The Fed nanti pada 17 September dan hasilnya mungkin 18 September,” katanya. Ariston menilai, karena terlalu kuatnya sentimen global saat ini, pemerintah sebaiknya terus memperbaiki beberapa tolok ukur kondisi ekonomi dalam negeri. Salah satu yang menjadi fokus adalah neraca transaki berjalan (current account). “Selama current account kita masih defisit, maka fundamental ekonomi kita masih dinilai lemah. Apalagi pertumbuhan ekonomi kita masih di bawah ekspektasi,” jelasnya.
No comments:
Post a Comment