Ekonomi negeri Paman Sam yang menghijau telah membuat dolar Amerika Serikat (AS) perkasa dan menghantam hampir seluruh mata uang dunia. Belum sampai di situ, babak baru perang mata uang (currency war) tiba setelah China memangkas nilai mata uang Yuan. Sanggupkah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bertarung bersama rupiah yang kini babak belur?
Berdasarkan penelusuran, rupiah mengalami hantaman yang kuat dari dolar dalam tiga babak di pasar spot tahun ini. Babak pertama adalah pada 7 Januari 2015. Pasca merayakan gegap gempita tahun baru, rupiah terpukul mata uang Paman Sam karena prospek penaikan suku bunga AS, dan membaiknya data ekonomi negara adidaya tersebut.
Babak tersebut terus terjadi hingga sepanjang Maret 2015, di mana rupiah memasuki level 13 ribu per dolar. Adapun pukulan terkeras terjadi pada 16 Maret ketika level 13.200 tidak terelakkan lagi. Lagi-lagi, penyebabnya adalah perbaikan ekonomi sang negara adidaya.
Setelah babak tersebut, rupiah sempat melakukan perlawanan. Adu kuat alias fluktuasi terjadi setelah itu. Namun, dolar kembali menggebuk rupiah dan semua mata uang dunia pada Juni lalu. Hal itu disebabkan gonjang-ganjing kabar keluarnya Yunani dari zona Euro karena negeri para Dewa tersebut terancam gagal bayar utang dan bisa mengalami kebangkrutan. Kini, kendati hiruk-pikuk di Yunani mereda, pasar uang harus kembali mendapat goncangan. Babak baru ini diciptakan oleh People’s Bank of China alias bank sentral China yang memutuskan untuk memangkas nilai yuan sebesar 1,9 persen.
Bank sentral negeri Tirai Bambu tersebut menyatakan langkah itu adalah depresiasi yang bakal dilakukan satu kali saja, sebagai upaya reformasi pasar bebas. Alih-alih upaya reformasi, langkah tersebut lebih dipandang semata-mata untuk mendongkrak daya saing produk ekspor China. Pasalnya, ekspor China anjlok lebih dari 8 persen di bulan Juli.
Selain itu, terdapat pandangan lain kenapa China memangkas nilai yuan. Salah satunya adalah agar mata uang tersebut bisa bersaing dan masuk ke dalam jajaran special drawing rights (SDR) pilihan Dana Moneter Internasional (IMF). Saat ini, keranjang SDR diisi oleh euro, yen, dolar, dan poundsterling. Alasannya lebih jelas, mata uang SDR punya kekuatan besar untuk mempengaruhi pasar dunia.
Akibat langkah bank sentral China pada 12 Agustus 2015 tersebut, bursa saham dan pasar keuangan dunia sempat mengalami kejutan kontraksi. Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk 3,01 persen saat itu, sementara rupiah sempat menyentuh level Rp 13.900. Sementara jika dihitung sejak awal tahun, nilai tukar rupiah terhadap dolar telah longsor 11,71 persen hingga 13 Agustus 2015. Salah satu yang terburuk di Asean maupun di antara negara ekonomi berkembang (emerging markets).
Seperti diketahui, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016, pemerintah mengasumsikan Rupiah bakal berada di level Rp 12.800 hingga Rp 13.200 per dolar. Namun, setelah melihat gejolak yang ada, pemerintah melakukan revisi menjadi Rp 13 ribu sampai Rp 13.400 per dolar. Hingga pada akhirnya ketika membacakan nota keuangan RAPBN 2016 hari ini, Presiden Jokowi menyebut Rp 13.400 sebagai usulan pemerintah untuk dibahas bersama DPR.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan nilai Rupiah saat ini sudah terlalu lemah atau over shooting dari kondisi fundamental. Kendati level pelemahan hampir sama dengan momen krisis moneter 1998, David menilai kondisi saat ini berbeda. Pasalnya, tidak ada kerusuhan sosial yang ikut melanda, dan inflasi masih relatif terkendali.
“Tidak bisa dibandingkan dengan krisis 1998 karena adanya kondisi yang berbeda. Kali ini memang semua emerging markets terkena imbas, terutama Brasil,” jelasnya saat dihubungi, Kamis (13/8). Lebih lanjut, menurut ekonom bank dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia ini, pelemahan rupiah yang telah mencapai titik psikologis bakal berimbas ke banyak hal. Ia mencontohkan, salah satunya adalah kinerja perusahaan importir.
“Perusahaan yang bahan bakunya banyak menggunakan impor pasti bakal terkena karena harganya naik tajam, sementara daya beli masyarakat dalam negeri sedang melemah,” jelasnya. David menilai, asumsi kurs yang ditetapkan pemerintah bakal sulit dicapai. Pasalnya beberapa hal buruk masih mungkin terjadi. Ia mengungkapkan, rencana penaikan suku bunga AS masih mengintai pasar uang.
“Tahun ini dan tahun depan kemungkinan masih berat. Ke depannya ada dari sentimen The Fed terkait suku bunga. Kalaupun ditunda malah bahaya, karena ketidakpastian makin lama. Kalaupun jadi naik, pasar belum tentu siap karena ada tambahan sentimen Yuan,” jelasnya. Ia menilai, tim ekonomi Presiden Joko Widodo yang baru sebaiknya bisa segera mencari solusi yang cepat dan tepat dalam menghadapi hal ini. David mengatakan, kelemahan tim ekonomi sebelumya adalah terkait buruknya koordinasi dan kecepatan.
“Arah kebijakan tim ekonomi Jokowi yang baru sangat dinantikan secepatnya. Kelemahan kemarin adalah terkait koordinasi. Banyak kebijakan yang tidak sinkron,” ujarnya.
No comments:
Post a Comment