Dalam rangka mengamankan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS), Bank Indonesia berencana merevisi sejumlah diktum dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.16 tahun 2014 tentang Transaksi Valas antara Bank dengan Pihak Domestik. Perubahan diktum yang dimaksud adalah batasan (threshold) pembelian valuta asing (valas) yang akan diwajibkan melaporkan bukti-bukti yang mendasari terjadinya transaksi atau yang dikenal dengan underlying transaction.
Dari ketetapan saat ini di atas US$ 100 ribu, nantinya transaksi valas mulai dari US$ 25 ribu wajib menunjukkan underlying transaction. "Untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS, Kami berinisiatif untuk mengatur pembelian valas di atas US$ 25 ribu dengan menggunakan underlying transaction dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan nanti dikeluarkan dalam bentuk PBI," ujar Gubernur BI, Agus Martowardojo di Jakarta, Selasa (18/8).
Agus mengungkapkan, adanya penurunan threshold tadi dimaksudkan agar pairing Rupiah tetap stabil lantaran ketersediaan valas dapat dipantau secara lebih mudah. Adapun pengetatan pengawasan terhadap transaksi di pasar valas makin krusial setelah rupiah mengalami depresiasi yang didominasi oleh sentimen eksternal seperti antisipasi investor atas rencana kenaikan suku bunga acuan AS dan kebijakan Quantitative Easing milik Bank Sentral Eropa.
Mengutip data Bank Indonesia, di sepanjang kuartal II 2015 Rupiah secara rata-rata melemah sebesar 2,47 persen dibanding kuartal sebelumnya dengan rata-rata nilai tukar di angka Rp 13.131 per Dollar AS. Bahkan, BI juga meramalkan adanya pelemahan mata uang lebih lanjut akibat keputusan China untuk melakukan devaluasi mata uang Yuan.
"Bisa dikatakan, Rupiah kini mengalami pelemahan cukup dalam dan telah berada di nilai fundamentalnya. Namun beruntung pada kuaartal II kemarin depresiasi Rupiah tertahan akibat kenaikan sentimen dari Standard & Poor (S&P) dari stable ke positif," tambah Agus.
Selain karena hal tadi, Agus menambahkan pengetatan transaksi valas juga dimaksudkan demi mengendalikanexcess likuiditas yang kini sedang terjadi di pasar valas. Hal tersebut menyusul seringnya upaya intervensi otoritas moneter dalam rangka menjaga sistem nilai tukar agar lebih stabil.
"Tentunya kami tidak menginginkan excess likuiditas jangka pendek itu digunakan untuk pembelian valas yg underlying-nya tidak ditopang oleh underlying yang kuat, misalnya untuk kegiatan yang sifatnya spekulasi. Jadi operasi moneter akan dioptimalkan untuk mengendalikan excess likuiditas jangka pendek itu," tegas Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara di lokasi yang sama.
Sebagai informasi, sepanjang tahun ini Rupiah telah mengalami tiga kali hantaman kuat di pasar spot. Yang pertama adalah pada 7 Januari 2015 lalu, dimana rupiah terpukul karena prospek penaikan suku bunga AS, dan membaiknya data ekonomi negara adidaya tersebut. Kondisi tersebut terus terjadi hingga Maret 2015, di mana pukulan terkeras terjadi pada 16 Maret ketika level Rp 13.200 tidak terelakkan lagi.
Langkah bank sentral China pada 12 Agustus 2015 lalu juga kembali menghantam Rupiah, bahkan sempat mencapai Rp 13.900 per Dollar AS. Jika dihitung sejak awal tahun, nilai tukar rupiah terhadap dolar telah longsor 11,71 persen hingga 13 Agustus 2015.
No comments:
Post a Comment