Pengumuman resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester pertama 2015 melambat menjadi 4,7 persen (tahun 2015 masih di atas 5 persen).
Berdasarkan publikasi laporan keuangan emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI), pada semester pertama 2015 secara rata-rata, penjualan dan profit mereka relatif turun. Ketidakpastian bisnis dan ekonomi memaksa banyak perusahaan mengurangi, bahkan menghentikan sementara, investasi pengembangan bisnis. Secara lebih spesifik, investasi yang banyak dihentikan adalah aset yang berwujud (tangible assets), seperti pendirian pabrik baru, pembelian mesin, dan properti.
Saat investasi pada aset yang berwujud (tangible asset) kurang memberikan hasil yang memadai, terbuka peluang untuk mempertimbangkan investasi pada aset yang nirwujud (intangible asset), yaitu investasi pengembangan human capital. Saat ekonomi melambat, aktivitas dan transaksi bisnis secara umum menurun. Penurunan aktivitas bisnis ini membuat banyak waktu luang tersedia bagi banyak orang. Dalam istilah ilmu ekonomi, opportunity cost penggunaan waktu untuk aktivitas nonbisnis semakin kecil.
Secara sederhana, opportunity cost bisa didefinisikan sebagai penghasilan yang hilang kalau waktu tersebut digunakan untuk kegiatan lain selain kegiatan bisnis utamanya. Contohnya, bila seorang eksekutif bisnis secara sengaja tidak masuk kerja selama satu bulan karena ingin mengikuti pelatihan peningkatan keterampilan manajerial, opportunity cost-nya adalah penghasilan yang sebenarnya bisa dia peroleh selama sebulan bekerja aktif di tempat kerjanya.
Jadi, saat ketersediaan waktu luang relatif banyak, opportunity cost dari waktu para eksekutif menjadi relatif kecil. Dalam situasi seperti ini, ada satu investasi nirwujud yang patut dipertimbangkan secara serius, yaitu investasi diri dalam bentuk pembelajaran (studi lanjut untuk gelar akademik formal, training untuk sertifikasi, dan training nonformal) guna meningkatkan kompetensi dan motivasi.
Dapat dipahami bahwa selama ekonomi sedang bertumbuh pesat seperti tahun-tahun saat pertumbuhan ekonomi masih sekitar 5 persen, bahkan di atas 6 persen, banyak eksekutif yang enggan berinvestasi untuk studi lanjut. Pasalnya, opportunity cost dari waktu mereka relatif besar. Melewatkan satu hari tanpa beraktivitas bisnis berarti kehilangan pendapatan cukup besar akibat transaksi yang tak jadi terlaksana pada hari tersebut. Dengan menurunnya opportunity cost saat pertumbuhan ekonomi melambat, manfaat investasi studi lanjut ini akan makin dominan terhadapopportunity cost-nya.
Berdasarkan analisis bea-manfaat (cost-benefit analysis) sederhana, dalam situasi ini, sangat masuk akal untuk para pebisnis berinvestasi mengasah modal manusia atau human capital mereka. Investasi untuk meningkatkan human capital jelas diperlukan bukan hanya oleh individu dan perusahaan. Bangsa Indonesia secara umum perlu berinvestasi lebih intensif dan ekstensif di bidang ini. Selama pertumbuhan ekonomi yang relatif pesat pada 2007-2014, tampaknya pasokan dan permintaan tenaga terampil menjadi semakin tidak seimbang.
Permintaan meningkat pesat, sementara pool of skilled talent relatif bertumbuh lambat. Akibatnya, peribahasa “tiada rotan akar pun berguna” terpaksa diterapkan, sehingga manajer karbitan dan eksekutif dadakan bermunculan. Masa perlambatan ekonomi saat ini merupakan saat yang tepat untuk memperbaiki kekurangan kita di bidang human capital. Hal ini sejalan dengan rekomendasi Stephen Covey (pengarang The Seven Habits of Highly Effective People) bahwa “gergaji” para manajer dan eksekutif kita sudah saatnya perlu dipertajam.
Tentu saja, kita tidak bisa membuat kesalahan lebih fatal lagi dengan memilih sekolah atau tempat pelatihan yang abal-abal. Peningkatan human capital di bidang bisnis memerlukan beberapa syarat. Pertama, metode pembelajaran harus seimbang antara kekuatan teori (academic rigor) dan praktek (business relevance) serta terpadu antara hardskills dan softskills. Kedua, pada era globalisasi, terlebih menyambut persaingan yang lebih ketat saat memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN, pembelajaran para eksekutif bisnis harus kental berciri internasional tanpa kehilangan akar lokal. Prinsipnya, globally connected and locally embedded. Untuk menyelenggarakan pembelajaran seperti itu, para pengajarnya juga harus memiliki pengalaman internasional, memahami teori secara solid, dan menguasai aplikasinya dalam praktek bisnis, khususnya di Indonesia.
Ringkasnya, investasi pengembangan human capital menjanjikan banyak manfaat potensial yang besar baik secara materi serta aspek lain, seperti manfaat aktualisasi diri dan manfaat sosial. Sebagai hasil makronya, akan tersedia sumber daya manusia yang memiliki karakter kesuksesan dan “gergaji” yang terasah tajam. Dengan demikian, bangsa Indonesia akan semakin mampu bersaing menghadapi era persaingan global yang lebih berat pada masa depan. Selamat berinvestasi!
No comments:
Post a Comment