Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memimpin Indonesia selama 10 bulan. Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky menilai arah kebijakan ekonomi Indonesia sejak masa transisi peralihan kekuasaan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai saat ini tidak rasional.
Semangat pemerintahan Jokowi menjadi ‘pembeda’ dari rezim sebelumnya dengan melakukan perbaikan fundamental ekonomi secara agresif dan memasang target-target ambisius dinilai Yanuar sebagai langkah yang kurang tepat di tengah kondisi eksternal maupun internal yang tengah bergolak.
"Ibarat memainkan partitur lagu dangdut dalam sebuah orchestra. Kebijakan yang diambil tidak cocok dengan keadaan yang terjadi," ujar Yanuar. alam berbagai kesempatan, pemerintah kerap menuding gejolak ekonomi global sebagai penyebab ekonomi domestik mengalami kontraksi. Menurut Yanuar, itu merupakan fakta yang saat ini terjadi, di mana fundamental ekonomi Indonesia selama ini selalu dipengaruhi oleh permasalahan eksternal.
Namun, lanjutnya, solusi yang seharusnya diutamakan untuk diambil pemerintah adalah melakukan mitigasi risiko ketimbang menunjukkan sikap keberanian melakukan perubahan. Ia mencontohkan salah satu kebijakan yang kurang tepat waktu penerapannya adalah dengan mencabut subsidi dan membangun proyek-proyek infrastruktur.
Seharusnya, kata Yanuar, tim ekonomi Jokowi tidak tutup mata terhadap kondisi eksternal yang terjadi dengan memberikan masukan kebijakan yang mengedepankan skala prioritas kepada majikannya. "Situasi dan kondisinya berbeda dengan dulu. Jangan terjebak karena hanya ingin jadi pembeda," katanya.
Di hari pertamanya menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution langsung menyoroti kelemahan tim ekonomi Kabinet Kerja pemerintah yang harus dibenahinya. Salah satunya adalah, penyusunan kebijakan yang dinilainya kurang menggunakan data yang akurat.
"Saya perhatikan ada semacam kekurangan di akurasi data. Kalau kita lihat pemerintah ada membuat kebijakan tidak boleh impor, tahu-tahu beberapa waktu kemudian diperbolehkan lagi impor. Ini kebijakan seperti apa ini? Hal seperti ini menunjukkan gejala penggunaan data yang tidak akurat," kata Darmin usai serah terima jabatan di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (12/8).
Menurutnya, dengan data yang akurat kebijakan yang disusun pemerintah akan lebih berkualitas dan memberi kepastian pada pasar. "Kalian ikutin saja, kan kalau kebijakannya berubah-ubah mengenai sesuatu itu berarti ada (data) yang tidak akurat," kritiknya. Untuk memperoleh data yang akurat, menurut mantan Gubernur Bank Indonesia bisa dilakukan dengan kalibrasi data atau upaya pengukuran tingkat kebenaran data yang ada.
"Kalibrasi data dulu sebelum dilakukan kesimpulan. Kalau belum apa-apa sudah disimpulkan dan ternyata keliru, ya akibatnya kebijakan yang diputuskan keliru," katanya. Selain itu, Darmin juga menekankan pentingnya koordinasi antar instansi yang terkait sebelum menetapkan suatu kebijakan. Dengan kombinasi data yang akurat, koordinasi yang baik, serta kebijakan yang berkualitas pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan pasar pada pemerintahan Joko Widodo.
"Akurasi dari data, akurasi dari kebijakan, akan makin akurat apalagi kalau data dan kebijakan itu sudah dibicarakan dan dikoordinasikan dengan berbagai instansi. Kalau itu sudah dibicarakan dengan instansi-instansi terkait maka orang pasti akan lebih percaya," ujarnya
No comments:
Post a Comment